Jumat, 12 September 2008

Skenario di balik BLBI

SKENARIO DI BALIK KASUS BLBI
Romli Atmasasmita

Dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia setelah terjadi amandemen ke empat kalinya terhadap UU Pemberantasan Korupsi, banyak fakta bahwa kasus BLBI merupakan kasus mega-skandal yang sangat luar biasa selama orde reformasi. Pertama mulai dari pengucuran- dan penggunaan dana blbi telah mengakibatkan pejabat BI yang didakwa dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi; pemilik Bank telah dijatuhi pidana oleh MA karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, Pasca temuan BPK bulan Agustus tahun 2000 yang menyatakan bahwa terjadi penyimpangan dana BLBI sebesar kurang lebih Rp 134 triliun, pemerintah dengan INPRES nomor 8 tahun 2002 telah menyelesaikan dengan pola MSAA,MRNIA,APU, dan SKL. Pola tsb bukan merupakan bentuk perjanjian keperdataan melainkan merupakan perintah kepada obligor untuk menyelesaikan kewajibannya (injunction) bukan “kontrak” karena secara substansiil, pola tsb memerintahkan obligor bermasalah untuk melaksanakan tuntas kewajibannya kepada negara, dan jika tidak dilaksanakan, negara telah mengalami kerugian dengan jumlah yang signifikan.
Ketiga, bukti dokumen BLBI (asli) menurut pihak Kejaksaan Agung telah hilang karena berbagai sebab antara lain terjadi kebakaran di Depkeu dan di gedung BI tempat penyimpanan dokumen tsb; namun fakta lain membuktikan bahwa, MA telah pernah menjatuhkan putusan atas kasus BLBI dan menetapkannya sebagai tindak pidana korupsi, dan pernyataan Kejagung bahwa kasus ini merupakan kasus perdata, sudah tentu bersumber kepada dokumen BLBI yang ada (fotocopy).
Keempat, pernyataan kejagung yang kontradiktif dan inkonsisten tentang kasus ini. Di satu sisi kasus BLBI didakwa dan terbukti sebagai tindak pidana korupsi (kasus Samadikun hartono; kasus Hendra Rahardja, dan kasus Bank Servitia); tetapi di sisi lain untuk kasus BDNI(Sy N) diberikan SP3 dengan alasan tidak terdapat bukti yang cukup,begitupula terhadap kasus BCA (AS).
Kelima, sekalipun kasus SYN telah diberikan SP3 oleh kejaksaan agung pada tahun 2004, akan tetapi Kejaksaan Agung di bawah Hendarman Supandji telah melakukan penyelidikan kembali kasus tsb, dan diakhiri dengan pernyataan kasus BDNI (SYN) tidak ditemukan unsur pidana sehingga tidak dilanjutkan penyelidikannya.
Keenam, kasus suap UTG, ketua tim II BLBI untuk kasus BDNI(SYN) oleh ART, “key personnel” dalam grup usaha SYN pemilik BDNI, di persidangan pengadilan tipikor dan kesaksian terdakwa ART, Hendro Dewanto, dan saksi jaksa lain; rekaman pembicaraan KYR dan UTS dengan ART; skenario penangkapan ART; telah terungkap fakta persidangan bahwa, kasus suap UTG dan ART berhubungan erat dengan tidak dilanjutkan penyelidikan kasus BDNI(SYN) dan kasus suap UTG dan ART. Sejalan dengan teori pembuktian, “circumstantial evidence” (preponderance evidence) menyatakan bahwa, setiap fakta yang terungkap di muka persidangan yang berhubungan erat satu sama lain, dan menunjuk kepada suatu peristiwa pidana dan mengarah kepada satu atau beberapa orang sebagai pelakunya, merupakan bukti kuat untuk menetapkan telah terjadi tindak pidana dan mereka adalah pelakunya. Hanya Hakim majelis pengadilan tipikor dengan keyakinan-nya, berwenang memberikan penilaian tsb karena diungkapkan di muka persidangan. Teori ini berbeda dengan teori pembuktian “beyond reasonable doubt” dengan minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam kasus mega-skandal yang melibatkan pejabat negara apalagi pemangku jabatan strategis pada bidang eksekutif, judikatif dan legislatif, teori pertama telah diterapkan di negara maju dan terbukti ampuh untuk mengungkap tuntas perkara besar.
Ketujuh, organisasi profesi Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) dengan 35(tigapuluh lima) ahli hukum pidana dari seluruh Indonesia, telah melakukan kajian hukum atas kasus BLBI dan berkesimpulan bahwa, kasus BLBI sarat dengan unsur tindak pidana korupsi, dan KPK dapat mengambil alih kasus BLBI dari Kejaksaan Agung.
Kedelapan, aspek transnasional berkaitan dengan kasus BLBI, terdapat fakta bahwa, antara Indonesia dengan Singapura dan beberapa negara Asean telah ditandatangani perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters) dan telah diratifikasi dengan UU Nomor 15 tahun 2008, termasuk prosedur permintaan penyitaan aset kejahatan(korupsi);tetapi perjanjian tsb menganut asas non-retraktif sejak tahun 2004.
Kesembilan, intervensi politik dan kekuasaan dalam kasus BLBI khususnya BDNI sangat kuat terbukti dengan muncul pro dan kontra wewenang KPK untuk ambil alih kasus tsb dengan memunculkan pemberlakuan asas non-retroaktif oleh politisi dan pemangku jabatan eksekutif dan para penasehat hukum serta pakar hukum pidana tertentu. Sedangkan kajian MAHUPIKI telah secara teliti dan menyatakan tegas tidak ada masalah non-retroaktif dalam hukum acara (wewenang) jika merujuk kepada Pasal 284 ayat (1) KUHAP, dan preseden pemberlakuan wewenang MK RI dalam memeriksa Hak Uji Materiel atas kasus yang terjadi sebelum terbentuknya Mahkamah tsb, dan merujuk juga kepada Pasal 68 juncto pasal 9 huruf d UU KPK.
Kesepuluh, KPK masih ragu-ragu untuk mengambil alih kasus BLBI dengan berbagai alasan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma hukum positif yang berlaku serta fakta yang muncul di persidangan perkara suap UTG dan ART.
Kesebelas, sehubungan dengan butir kesepuluh di atas, pernyataan kejaksaan agung bahwa bukti dokumen asli telah hilang, sehingga sulit pembuktian kasus BLBI adalah mengada-ada dan tidak sesuai dengan bunyi ketentuan dalam UU Nomor 20 tahun 2001 yang telah mengubah UU nomor 31 tahun 1999 tentang bukti petunjuk (Pasal 26 A) , termasuk dokumen , yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dibaca,dilihat, dan atau di dengar ....; tidak ada satu kalimatpun dalam ketentuan tsb mengharuskan dokumen tsb asli (bukan fotocopy). Begitupula jika untuk kasus BLBI, digunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang , definisi tentang dokumen dan alat bukti elektronik telah ditetapkan merupakan alat bukti ke-enam disamping yang telah di atur dalam KUHAP (hanya lima).
Bertitik tolak dari uraian di atas jelas bahwa telah terjadi skenario penyelesaian kasus BLBI menyimpang dari tujuan untuk menyelamatkan perekonomian negara dan keuangan negara yang telah dilaksanakan secara berencana, sistematis, dan melibatkan banyak pejabat eksekutif,legislatif, dan judikatif. Kondisi penegakan hukum tersebut dapat digolongkan ke dalam “governmental crime”.

Satu Dasa Warsa Pemberantasan Korupsi

9 August 2008 2008

PEMBERANTASAN KORUPSI BAGIAN DARI MENCIPTAKAN KEADILAN SOSIAL BANGSA INDONESIA
ROMLI ATMASASMITA
Korupsi di berbagai Negara kini telah diakui sebagai kejahatan internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)-pun telah mengakui secara resmi bahwa korupsi merupakan musuh umat manusia dan tantangan besar untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa. Kemiskinan di sebagian Negara berkembang terbukti disebabkan karena buruknya pemerintahan karena suap(bribery), penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Berbagai kasus korupsi yang telah dilakukan oleh pemimpin Negara berkembang seperti, kasus Sani Abacha (Nigeria), Ferdinand Marcos(Filipina), Fujimori (Peru), Suharto (Indonesia); menunjukkan bahwa korupsi telah mengakibatkan instabilitas pemerintahan dan kemiskinan yang bersifat massal.
Selain korupsi di negara berkembang tertentu di Asia dan Afrika, korupsi juga telah berkembang terutama korupsi di bidang politik di negara-negara maju seperti di negara anggota Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Negara yang termasuk “Quiet Corrupt Countries” termasuk: Sepanyol, Yunani, Italia; termasuk “Somewhat Corrupt Countries”, termasuk, Jerman, Amerika Serikat, Perancis, Belgia, Jepang dan Portugis; “Least Corrupt Countries, termasuk, Swedia, Belanda, Irlandia, dan Inggeris.
Sejalan dengan perkembangan korupsi di belahan dunia tersebut PBB telah mengadopsi dua konvensi yang secara khusus ditujukan untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi; Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime,2000), dan Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption., 2003).
Perkembangan implementasi konvensi-konvensi tersebut di berbagai Negara berbeda-beda. Pemerintah Indonesia, telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi(2003) dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006, dan telah menandatangani Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi.
Pemerintah Indonesia telah memasukkan agenda pemberantasan korupsi dengan Instruksi Presiden RI Nomor 5 tahun 2004 yaitu “Percepatan Pemberantasan Korupsi” dan juga telah memberikan instruksi kepada seluruh Menteri dan Petinggi Hukum untuk melakukan koordinasi di dalam pelaksanaannya. Selain itu pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK)tahun 2004-2009. Namun demikian RAN PK tidak memasukkan 4(empat) area rentan korupsi terpenting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, yaitu: sektor peradilan; pengawasan keuangan; partai politik dan DPR, dan pengawasan barang dan jasa di dalam Bisnis Militer.
Selain agenda pemberantasan korupsi tersebut di atas, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan 4(empat) kali perubahan terhadap undang-undang pemberantasan korupsi, yaitu perubahan pertama, UU Nomor 24 tahun 1960; kedua, UU Nomor 3 tahun 1971; ketiga, UU Nomor 31 tahun 1999, dan keempat UU Nomor 20 tahun 2001. Kempat perubahan tsb diperkuat dengan diundangkannya UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Nomor 15 tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003).
Untuk memperkecil kelemahan celah hukum dalam pemberantasan korupsi, telah dimasukkan ketentuan mengenai pembuktian terbalik-terbatas dalam UU nomor 31 tahun 1999, dan pembuktian terbalik dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang;serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002.
Perkembangan progresif dan boleh dikatakan agresif di dalam bidang peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diuraikan tidak diikuti dengan implementasi yang konsisten dan berkesinambungan. Kesenjangan antara ”yang seharusnya” (das sollen), dan ”yang senyatanya (das sein) tersebut telah mengakibatkan tujuan penjeraan dan pengembalian kerugian keuangan negara belum berhasil secara signifikan.
Penyelesaian berbagai kasus korupsi dikalangan lembaga penegak hukum sejak era reformasi, masih bersifat fragmentaris, dan berkembang secara sporadis dikawal dengan pengawasan kalangan LSM yang bergerak dalam pemberantasan korupsi. Respons dari kalangan eksekutif, legislative dan yudikatif masih beragam dan belum satu kata dengan perbuatan. Masih tampak standar ganda di antara mereka sehingga baik secara sosial dan politik, Instruksi Presiden (INPRES) percepatan pemberantasan korupsi telah dicanangkan sejak tahun 2004, belum dapat mencegah kenaikan angka korupsi yang melibatkan penyelenggara negara di Indonesia.
Perasaan jera untuk tidak melakukan korupsi di kalangan mereka belum merata dan bahkan masih banyak penyelenggara Negara yang berpendapat bahwa, tertangkapnya beberapa pejabat negara tsb hanyalah karena kebetulan atau nasib sial semata-mata dan kecerdikan penegak hukum saja. Perasaan malu sekalipun tidak kentara pada pelaku korupsi telah terhapuskan dengan ”penyambutan” yang berlebihan dari insan pers dan media cetak elektronik sehingga layaknya selebriti saja. Korupsi berjamaah telah menjadi kenyataan sehingga rasa malu itupun telah teratasi dengan ”spirit kolektivisme” dalam membela ”kaumnya”.
Kinerja lembaga penegak hukum saat ini dalam pemberantasan korupsi belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi tegaknya hukum dan keuangan negara. Contoh, masih ada tunggakan pembayaran uang pengganti dari Kejaksaan Agung, sebesar Rp 5.925.829.194.947,- dan $ 207.595.132 dan baru disetor ke kas negara sebesar Rp 2.842.941.733.409,2.
Beberapa kasus mega-korupsi dengan nilai trilyunan rupiah belum dapat diselamatkan dan secara tuntas ditangani Kejaksaan Agung, seperti kasus BLBI, dengan nilai 134.5 triliun rupiah, ditambah dengan bunga, telah mencapai seribu trilyun rupiah; dan kasus korupsi di bidang minyak dan gas bumi sejak kasus Balongan (1988) sampai dengan terakhir kasus tunggakan Royalti Batu Bara dari 6(enam) Perusahaan swasta sebesar 16.48 triliun rupiah.
Berdasarkan perhitungan potensi nilai uang negara yang telah diselamatkan berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, KPK telah memasukkan ke kas negara senilai Rp 45.513.032,038,00- per Desember 2007 dari total potensi kerugian negara yang harus diselamatkan senilai Rp 119.976.472.962,00-
Mahkamah Agung RI sampai saat ini masih menahan biaya perkara yang telah disetor pihak ketiga dengan berbagai alasan yang kurang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Beranjak dari data perkara tersebut di atas, wajar jika survei Litbang Kompas mengenai Citra Lembaga Penegak Hukum selama 5(lima) tahun terakhir, menunjukkan bahwa, citra Kejaksaan Agung dan MA RI masih jauh berada di bawah KPK. Terhitung sejak September 2003 sampai dengan Juni 2008, menunjukkan keadaan sebagai berikut: Kepolisian (tahun 2003, 31.8; 2008,26.1), Kejaksaan Agung(tahun 2003, 22.4; tahun 2008:18.1), Mahkamah Agung (tahun 2003, 25.7; tahun 2008, 22.0), KPK(tahun 2005, 58.3; tahun 2008, 63.5).
Kenaikan citra KPK juga tampak dari kenaikan kepatuhan penyelenggara negara untuk menyampaikan LHKPN, dari sejumlah 86.468 telah menyampaikan laporan sebanyak 76.455 (88.42%) dengan rincian: eksekutif (85,25%); Legislatif (95,59%), dan judikatif(90,05%). Citra positif terhadap KPK juga tampak dari penerimaan laporan gratifikasi yang mengalami peningkatan, pada akhir 2007(96%) dari 20% pada tahun 2004.
Merujuk kepada data KPK tsb, data mengenai kenaikan pesat dalam kepatuhan penyampaian laporan LHKPN dan laporan gratifikasi oleh penyelenggara negara berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah kasus korupsi yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun ini, dan ,masih tingginya citra negatif terhadap lembaga penegak hukum dalam pandangan publik dan pencari keadilan.
Citra peradilan berdasarkan hasil penelitian UNODC dan MA RI tahun 2004, ternyata sangat memprihatinkan.Dari responden 1467 (di wilayah Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan) dan 1018 responden (di wilayah Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara), diperoleh gambaran,masih adanya pungutan liar pada tahap, dimulainya peradilan (7.4%); proses peradilan (11.1%);penerbitan putusan (7.4%); perolehan salinan putusan (33.3%);eksekusi putusan (29.6%). Suap untuk pengurangan hukuman (Sumsel, 5.5%; Sulteng, 63.2%); rekayasa putusan(Sumsel, 4.6%;Sulsel, 12.6%); untuk mempengaruhi putusan(Sumsel, 4.6%, Sulteng, 6.3%).
Di bidang kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan di dalam UU Nomor 4 tahun 2004,tentang Kekuasaan Kehakiman, masih terdapat kinerja hakim yang belum mencerminkan integeritas dan akuntabilitas yang baik . Pembenahan mekanisme kerja di lingkungan MA RI belum dilaksanakan secara tuntas sekalipun berbagai usulan telah disampaikan kepada Pimpinan MA RI. Usulan sistem (pemisahan) kamar pada tingkat pemeriksaan kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah Agung RI, tidak disetujui sampai saat ini sehingga sering terjadi kasus korupsi ditangani oleh hakim yang memiliki keahlian di bidang administrasi negara atau hakim agama sehingga menghasilkan putusan yang tidak memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan.

Implementasi sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang diandalkan di dalam UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, setelah berusia 17 tahun lamanya, juga terbukti tidak berhasil dengan efektif mencegah dan menindak tindak pidana serius termasuk korupsi karena sering terjadi bolak balik hasil pemeriksaan P19 dari penyidik kepolisian kepada penuntut umum kejaksaan di dalam proses penyidikan dan penuntutan. Ketentuan SP 3 baik dalam penyidikan (Pasal 109 ayat 2 KUHAP)maupun dalam penuntutan(Pasal 140 ayat 2 KUHAP) dalam praktik sering dijadikan ”komoditi berjangka” sehingga sangat cenderung merupakan pelanggaran hak asasi para pencari keadilan.
Pembentukan TimTasTipikor untuk menghentikan bolak balik perkara tipikor tidak dilanjutkan oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji, tanpa ada upaya untuk memperpanjangnya sekalipun telah berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 4.105.563.737,-. Di sisi lain, data mengenai kinerja Kejaksaan Agung di dalam bidang penyidikan dan penuntutan masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, bahkan cenderung menurun sesuai dengan survey citra masyarakat sebagaimana diuraikan terdahulu(Survey Litbang Kompas,2003-2008). Selama kurun waktu 9(sembilan)tahun-1998 – 2007, pada akhir tahun 2007, data statistik perkara korupsi, pada tingkat penuntutan masih tersisa 50(limapuluh) kasus dan telah diselesaikan 662 kasus dari 712 kasus yang masuk dan dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. Sedangkan data statistik penyidikan, lebih buruk dari penuntutan, yaitu dalam kurun waktu yang sama, terdapat sisa penyidikan sebesar 1255 perkara, dari 1686 perkara. Seharusnya, Kejaksaan Agung sebagai lembaga Penuntut Umum satu-satunya tidak dibebani masalah kasus korupsi dalam penyidikan yang masih tertunda-tunda.
Seluruh uraian negatif yang terjadi dalam praktik peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, telah diperburuk dengan maraknya para makelar kasus (MARKUS) baik skala kecil, menengah maupun skala besar. Contoh kasus suap oleh ART terhadap UTG seorang jaksa ketua tim II untuk mengkaji kasus BDNI/SYN; juga memiliki jaringan luas ke lapisan eselon puncak di dalam lembaga penegak hukum dan birokrasi.
Perilaku koruptif dan tindak pidana korupsi semakin merajalela dan meningkat serta meluas di dalam birokrasi di Indonesia termasuk aparatur penegak hukum. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa korupsi telah menjadi virus, berkembang biak secara sistemik dan meluas sehingga tepat dikatakan korupsi di Indonesia telah merupakan “kejahatan luar biasa (sangat luar biasa) atau “extra ordinary crimes”. Jika masih ada pendapat yang mengatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan biasa sama dengan perampokan (ordinary crimes) jelas bahwa mereka termasuk golongan orang-orang yang tidak memiliki kepedulian sosial nasional dan kehilangan “sense of crisis” terhadap masa depan bangsa Indonesia. Bahkan cara pandang mereka terhadap korupsi bertentangan secara diametral dengan cita kesejahteraan sosial dan keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945 dan Perubahannya.
Laporan survey USINDO-CSIS tahun 2004-2006 menggambarkan keadaan kinerja pemberantasan korupsi yang masih mengalami hambatan serius dari realita politik yang berkembang dan birokrasi sehingga langkah Presiden SBY dengan Inpres Nomor 5 tahun 2004 tidak memberikan hasil optimal dan signifikan terhadap pembaruan birokrasi melainkan hanya “menurunkan sementara” praktik kronisme dalam proses pengangkatan jabatan strategis pemerintahan, dan keberpihakan politis dalam pengambilan keputusan di bidang regulasi dan dunia perdagangan. Di sisi lain, presiden SBY sendiri kurang proaktif untuk menerapkan strategi reformasi birokrasi untuk mengurangi insentif dan kesempatan untuk melakukan korupsi.
Kiranya sudah tiba waktunya untuk melakukan konsolidasi internal terhadap kinerja lembaga penegak hukum termasuk KPK dan segera menetapkan semangat,tekad dan komitmen untuk melaksanakan pemberantasan korupsi secara komprehensif dan secara total merevisi berbagai peraturan disiplin PNS (PP 30) yang telah usang dan menyesuaikan dengan gerak langkah pembaruan dalam kinerja pemberantasan korupsi.
Pidato Kenegaraan Presiden SBY dalam Sidang Paripurna DPR RI menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2008, seharusnya dijadikan momentun bagi seluruh petinggi hukum untuk melaksanakan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, begitulah ucapan yang disampaikan Presiden. Apalagi dalam Pidato Kenegaraan tsb disampaikan Presiden mendukung penuh langkah-langkah hukum yang telah dilaksanakan KPK.
Agenda pemberantasan korupsi memasuki tahun keenam sejak gerakan reformasi digulirkan dan di masa yad, harus dapat mengikis habis sikap dan perilaku yang masih resisten terhadap gerakan pemberantasan korupsi melalui berbagai cara. Langah pertama, menetapkan sanksi pemecatan terhadap PNS yang berperilaku koruptif, termasuk aparatur penegak hukum, dan memberikan “reward” secara terbuka kepada mereka yang berjasa menuntaskan dan membantu gerakan pemberantasan korupsi. Langkah kedua, menumbuhkan budaya malu dan jera di kalangan birokrasi yang terlibat dalam kasus korupsi antara lain dengan pemborgolan dan memakai baju seragam tahanan yang sesuai dengan nilai kesusilaan masyarakat Indonesia. Langkah ketiga, dihapuskannya perlakuan diskriminatif yang mengistimewakan pelaku korupsi yang memiliki status sosial ekonomi tinggi dari mereka yang tidak berpunya sejak penahanan sampai kepada pelaksanaan putusan hakim di dalam lembaga pemasyarakatan. Semua keistimewaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang telah melakukan kejahatan serius termasuk korupsi sebaiknya dikurangi sampai pada titik terrendah sehingga dapat menciptakan “rasa senasib sepenanggungan dengan nara pidana lain”. Langkah keempat, mencegah insentif dari korupsi dan kesempatan untuk melakukan korupsi dengan cara penegakan hukum dan pelaksanaan hukuman secara konsisten tanpa diskriminatif serta penjatuhan hukuman seberat-beratnya terhadap mereka yang “memudahkan dan memberikan kelonggaran” terhadap pelaksanaan penegakan hukum dan pelaksanaan pidana tsb.Langkah kelima, merevisi PP 30 mengenai Disiplin Pengawai Negeri Sipil sehingga tertutup peluang ”impunity” terhadap perilaku koruptif di kalangan penyelenggara negara. Selayaknya dalam Peraturan tersebut diterapkan sanksi pemberhentian sementara dari jabatannya terhadap penyelenggara negara khususnya pengemban jabatan strategis yang terkait dengan tindak pidana korupsi; dan tidak perlu lagi mengusung prinsip ”praduga tak bersalah” yang sering dijadikan kemasan untuk ”menghentikan atau menekan” gerakan anti korupsi.
Lembaga penegak hukum termasuk KPK harus meyakini bahwa semangat, tekad, kinerja dan sikap yang sejalan dan seiring dalam pemberantasan korupsi akan dapat berhasil menyelamatkan kekayaan negara secara signfikan dan dapat menambah secara substantial terhadap APBN/APBND. Diyakini bahwa jika hal tsb dilakukan bangsa ini tidak perlu lagi meminta bantuan pinjaman dari negara donor dan bahkan dapat mengatasi masalah nasional dengan sumber daya dan dana nasional. Bahkan jika hal tsb dilakukan secara konsisten selama 5(lima) tahun yad, maka negara dan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat secara sosial, ekonomi, hukum dan poliitik dan menjadi bangsa yang disegani baik dalam forum nasional maupun dalam hubungan internasional.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia dalam 10(sepuluh) tahun kedepan oleh karena itu KPK haruslah menjadi panutan baik secara kelembagaan maupun secara individual bagi lembaga pemerintah lainnya di dalam membangun Indonesia yang merdeka dan bebas dari penjajahan di bidang sosial dan ekonomi.
Akhirnya, patut direnungkan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya monopoli KPK melainkan juga menjadi tugas dan tanggung jawab bersama Kejaksaan Agung dan Kepolisian serta Mahkamah Agung RI. Tanpa kerjasama positif diantara keempat lembaga penegak hukum tsb dan partisipasi masyarakat secara luas disertai proteksi terhadap pelapor dan saksi yang kooperatif jangan diharapkan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum dapat memberikan hasil optimal dan jaminan masa depan bangsa Indonesia dalam meraih cita keadilan sosial.

Royalti Batu Bara =Korupsi

13-Sep-08
ANALISIS HUKUM KASUS TUNGGAKAN ROYALTI BATU BARA
Romli Atmasasmita

Heboh kasus royalti dari hasil tambang baru bara mencuat karena ada 6(enam) perusahaan berbadan hukum perseroan termasuk joint venture, telah tidak membayar royalti sesuai dengan kontrak dengan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 1996 (Pasal 3 ayat 1);di bawah payung hukum Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum. Total Tunggakan royalti oleh perusahaan tsb berjumlah 7(tujuh) trilyun rupiah dilakukan sejak tahun 2001. Penagihan diserahkan kepada PUPN atas tunggakan terhitung sejak tahun 2001 sd 2005 sesuai dengan hasil audit BPKP. Sedangkan tagihan sejak tahun 2006 sd saat ini masih ditangani Departteman ESDM. Dari jumlah total tunggakan tsb, PUPN menangani sekitar 3.8 trilyun rupiah. Seluruh tunggakan royalti tersebut di atas termasuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP) –UU Nomor 20 tahun 1997 dan Departemen ESDM merupakan instansi wajib pungut PNBP, yang harus melakukan setoran ke kas negara satu hari sejak diterimanya royalti tsb.
Analisis hukum terhadap kasus tunggakan royalti batu bara dapat dilihat dari sisi, pertama, dari sisi hukum perdata, dan kedua, dari sisi hukum pidana.

Analisis hukum perdata, menunjukkan bahwa kasus ini berkaitan dengan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Keenam perusahaan pertambangan batu bara berbentuk badan hukum perseroan sehingga ketentuan mengenai hukum perseroan berlaku terhadap keenam perusahaan tersebut.
Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 menentukan bahwa, kewajiban komisaris, dan direksi, juga pertanggungjawaban hukum suatu perseroan terbatas. Pasal 3 ayat (1) jo ayat (2) ) UU Perseroan Terbatas telah menetapkan 4(empat) keadaan di mana direksi dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, antara lain, jika (b) pemegang saham ybs langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi; (c) jika pemegang saham ybs terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan, atau (d) jika pemegang saham ybs baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan tidak menjadi cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Dari sisi hukum perdata khususnya merujuk kepada UU PT tersebut, keenam perusahaan tambang batu bara tersebut telah tidak beritikad baik untuk membayar royalti yang merupakan kewajibannya berdasarkan kontrak yang ditandatanganinya dengan Departemen ESDM. Sedangkan Departemen ESDM telah melalaikan kewajibannya untuk melakukan pungutan sesuai dengan UU Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Analisis hukum pidana, perbuatan keenam perusahaan batu bara menunggak royalti yang merupakan salah satu pemasukan negara, merupakan perbuatan dengan sengaja telah melalaikan kewajibannya untuk membayar royalti batu baru sehingga negara mengalami kerugian senilai Rp 7 triliun. Hal ini didasarkan atas fakta bahwa keenam perusahaan tsb telah diperingati oleh Departemen ESDM atas dasar hasil audit BPKP. Keenam perusahaan batu bara tidak dapat mengelak dari tanggung jawab untuk membayar royalti dengan alasan bahwa pemerintah belum membayar restitusi pajak karena restitusi pajak diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sedangkan pembayaran royalti batu bara termasuk kewajiban hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Bukan Pajak. Kedua kewajiban tersebut baik dari pihak pemerintah (restitusi pajak) maupun dari keenam perusahaan tsb (royalti) tidak dapat dikompensasikan sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 tahun 2007 tentang Perbendaharaan Negara.
Perbuatan keenam perusahaan tambang batu bara tersebut merupakan suatu tindak pidana korupsi vide UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001. Hal ini disebabkan, pertama telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum yaitu dengan sengaja tidak mau membayar selama kurang lebih 7(tujuh) tahun dengan nilai Rp 7 triliun; kedua, telah memperkaya diri sendiri atau korporasi; dengan tidak membayar royalti senilai Rp 7 triliun maka kekayaan keenam perusahaan menjadi bertambah atau telah menambah harta kekayaan direksi dan komisaris baik sendiri-sendiri atau bersama-sama ; dan ketiga, oleh karena itu negara telah mengalami kerugian senilai Rp 7 triliun yang seharusnya telah dapat digunakan oleh negara untuk kepentingan rakyat.
Di dalam menemukan solusi terbaik dilihat dari berbagai aspek, nasional dan internasional, maka pemerintah harus segera menetapkan langkah hukum terbaik yang dapat memenuhi keadilan para pihak(pemerintah dan pengusaha).

Langkah penyelesaian kewajiban atas Kontrak harus paralel dengan langkah hukum pencekalan dan pembekuan aset
Penegasan Menteri Keuangan di berbagai media yang menyatakan pemerintah akan menyelesaikan kasus ini berdasarkan Kontrak yang telah ditandatangani pemerintah dan keenam perusahaan tsb merupakan keputusan yang bijak akan tetapi sudah tentu langkah pemerintah tsb bukan opsi satu-satunya yang dapat menyelamatkan kerugian negara, akan tetapi perlu dilengkapi dengan langkah hukum pidana (UU Korupsi) jika tidak berhasil dalam tenggat waktu tertentu(tidak terlalu lama)sehingga dapat dicegah kerugian negara yang lebih besar lagi atau para pelaku lolos dari jeratan hukum. Langkah pencekalan merupakan suatu langkah pemerintah yang sangat tepat untuk memperkuat langkah Menteri Keuangan tsb di atas. Namun langkah-langkah tsb masih belum cukup, diperlukan langkah pembekuan aset-aset keenam perusahaan tsb untuk mencegah aset yang dilarikan ke negara lain yang yang nota bene di dalamnya termasuk aset negara (royalti). Langkah pembekuan aset tsb didasarkan atas UU Nomor 31 tahun 1999 diubah UU Nomor 20 tahun 2001 atau UU Nomor 15 tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Perlu langkah paralel dilakukan KPK dan Kepolisian
Untuk memperkuat langkah hukum yang telah dilaksanakan pemerintah di atas, perlu dilaksanakan langkah paralel oleh KPK dan atau Kepolisian berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang yang terjadi sebagai akibat penunggakan pembayaran royalti. Perlu diketahu bahwa perbuatan menunggak dari tahun 2001 sd tahun 2008, tempus delicti sejak 7(tahun) terhitung keenam perusahaan menunggak royalti, tidak lagi dapat digolongkan sebagai perbuatan ”melalaikan kewajibannya” melainkan termasuk ”perbuatan dengan sengaja tidak mau melaksanakan kewajibannya, yaitu membayar royalti, sesuai dengan kontrak tambang batu bara yang diatur berdasarkan PP Nomor 75 tahun 1996.
KPK dan Kepolisian dengan bantuan PPATK sejak dini seharusnya telah melaksanakan tindakan pencegahan agar harta kekayaan negara (royalti senilai Rp 7 triliun) dapat diselamatkan dengan merujuk kepada peraturan perundang-undangan terkait. Langkah pencegahan tersebut segera perlu dilaksanakan agar pengalaman buruk penyelesaian kasus BLBI Jilid I dan II melalui INPRES nomor 8 tahun 2002, dalam penyelesaian kasus tunggakan royalti ini, tidak terulang kembali.
Langkah Tim Optimalisasi Penerimaan Negara yang dikoordinir oleh Kepala BPKP dalam kasus ini dengan melalui pembayaran uang jaminan senilai Rp 6 milyar, dan sampai saat ini belum disetor ke kas negara, patut disesalkan karena Lembaga BPKP selaku auditor pemerintah, tidak dalam kapasitas menyelesaikan suatu kasus kecuali melaksanakan audit semata-mata. Jika ditemui penyimpangan yang diduga kuat telah merupakan suatu tindak pidana, menjadi kewajiban BPKP melaporkan kepada pihak berwajib. Langkah BPKP tsb justru merupakan langkah penyelamatan aset negara sebaliknya merupakan langkah yang tidak tepat dan berisiko tinggi di mana royalti yang merupakan aset negara akan hilang tidak dapat diselamatkan. Apalagi nilai jaminan tsb (Rp 6 milyar) sangat tidak sebanding dengan nilai Rp 7 triliun yang seharusnya menjadi milik negara; belum dihitung dengan denda penalti atau bunganya.! Berdasarkan pertimbangan inilah, KPK harus mengambil langkah supervisi terhadap kasus tunggakan royalti batu bara dan berkoordinasi dengan BPKP atau BPK akan tetapi KPK tidak boleh memberikan toleransi terhadap keenam perusahaan batu bara tersebut yang telah secara nyata-nyata dan dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban-nya terhadap negara!

Ratifikasi Statuta ICC : Problema Dan Prospeknya

RATIFIKASI STATUTA ICC :PROBLEMA DAN PROSPEKNYA
PROF.DR.ROMLI ATMASASMITA,S.H.,LL.M

Pengantar
Penyusunan Statuta ICC telah melalui sejarah perjalanan yang panjang, dirintis sejak tahun 1952 oleh Komisi Hukum Internasional yang telah diberi mandat oleh Majelis Umum PBB. Pada tahun 1994, Komisi Hukum Internasional telah berhasil menyelesaikan Draft Statuta yang pertama, dan dua tahun kemudian, pada tahun 1996, Komisi Hukum Internasional telah berhasil menyepakati Draft final mengenai, ” Code of Crimes Against the Peace and the Security of Mankind”. Kedua Draft Code tersebut merupakan karya ahli hukum internasional yang sangat monumental di dalam mempersiapkan Statuta Mahkamah Tetap Pidana Internasional.
Sejalan dengan resolusi Sidang Majelis Umum PBB tahun 1996 dan 1997, telah diselenggarakan Konprensi Diplomatik mengenai Pembentukan Mahkamah Tetap Pidana Internasional di Roma pada tanggal 15 Juni tahun 1998 sampai dengan tanggal 17 July 1998, diikuti oleh 160 negara anggota Delegasi termasuk Indonesia.Statuta ICC telah diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 dan telah berlaku efektif sejak tahun 2002, sampai saat ini telah tercatat 120 negara penandatangan, dan 104 negara peratifikasi, diantaranya, termasuk di Asia yaitu Kamboja (ratifikasi tanggal 11 April 2002); dan Timor Leste,(ratifikasi pada tanggal 6 September 2002). Perlu diketahui pada saat adopsi SICC, 120 negara peserta setuju mengadopsi SICC, 7 negara peserta menolak termasuk Amerika Serikat, dan 21 negara peserta menyatakan abstain.Sampai saat ini,belum ada satupun negara Uni Emirat dan negara teluk telah meratifikasi SICC, begitupula negara anggota Asean. Bahkan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat, Rusia, China,tidak meratifikasi statuta tersebut dengan berbagai pertimbangan kepentingan nasional dan internasional yang dihadapi baik sekarang maupun untuk masa yad. Israel secara tegas menolak menjadi negara pihak dalam SICC.
Sehubungan dengan rencana pemerintah Indonesia meratifikasi SICC yang salah satu langkah tindak lanjut dalam RAN HAM 2004-2009, masih diperlukan pertimbangan objektif, hati-hati, dan sungguh-sungguh mengantisipasi dampak ratifikasi terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara, bukan hanya dari aspek hukum dan politik semata-mata,melainkan juga dari sisi sosial –kemasyarakatan dalam negeri dalam kurun waktu lima atau sepuluh tahun yad.
Untuk memahami SICC secara menyeluruh dengan beberapa ketentuan strategis di dalamnya sebagai langkah persiapan ratifikasi SICC, akan diuraikan beberapa karakteristik SICC. Uraian berikut merupakan analisis dari sisi hukum pidana internasional dilengkapi dengan beberapa referensi khusus mengenai masalah SICC.
Karakteristik dan substansi strategis dalam Statuta ICC
Karakteristik pertama dan terpenting dari Statuta ICC (SICC), bahwa SICC termasuk ke dalam perjanjian yang tidak boleh direservasi (non-reserved convention) oleh negara peratifikasi. Hal ini ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 120 SICC. Sekalipun demikian, setiap negara peratifikasi masih dibolehkan menyatakan suatu deklarasi terhadap SICC tsb. Dampak dari status ”non-reserved convention”(NRC) terutama bagi negara peratifikasi ada 4(empat) kewajiban yang harus dilaksanakan., yaitu pertama, negara peratifikasi harus (shall) bekerja sama dengan Penuntut Umum Internasional; kedua, melaksanakan harmonisasi hukum nasional dengan standar ICC; ketiga, menggunakan kekuatan polisi dan fasilitas lainnya untuk menangkap seseorang yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran HAM berat; dan keempat, melaksanakan perampasan atau penyitaan jika diperintahkan oleh Penuntut Internasional. Sedangkan bagi negara non-peratifikasi, masih harus berkoordinasi dengan ”the Assembly of State Parties (ASP) dan atau dengan Dewan Keamanan PBB.
Sekalipun konvensi tsb merupakan NRC akan tetapi penandatanganan dan peratifikasi atas SICC dapat ditarik kembali (Pasal 127), sekalipun demikian negara ybs masih tetap ”terikat” terhadap kewajiban sebagaimana dicantumkan dalam Para 2 dari Pasal 127 SICC, antara lain sebagai berikut: menegaskan:” A State shall not be discharged, by reason of its w ithdrawal, from th obligations arising from this Statute while it was a Party tothe Statute...”. Its withdrawal shall not affect any cooperation with the Court in connection with criminal investigations and proceedings in relation to which the withdrawing State had a duty to cooperate and which were commenced prior to the date on which the withdrawal became effective, nor shall it prejudice in any way the continued consideration of any matter which was already under consideration by the Court prior to the date on which the withdrawal became effective.”

Dilain pihak, dalam konteks Pasal 120 dan Pasal 127 para 2 di atas, perlu dipertimbangkan posisi Lembaga ICC dalam struktur organisasi PBB sampai saat ini masih belum jelas, mengenai, apakah ICC merupakan organ PBB yang berdiri sendiri sepertti ICJ ataukah masih berada di bawah ”pengaruh atau tekanan” lembaga Dewan Keamanan PBB (Security Council). Ketentuan Pasal 2 SICC belum jelas posisi ICC di dalam organisasi PBB karena ditegaskan, ”The Court shall be brought into relationship with the United Nations through an agreement to be approved by the Assembly of State Parties to the Statute...”. Namun yurisdiksi ICC terhadap wilayah teritorial suatu negara telah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 4 para 2, ” The Court may exercise its function and powers, as provided in this Statute, on the territory of any State party and, by special agreement,on the territory of of any other State”.
Merujuk kepada ketentuan Pasal 16 SICC dibawah judul, ”Deferral of investigation or prosecution”, jelas bahwa dimulainya penyidikan dan penuntutan kasus pelanggaran HAM berat (gross violaton of human rights) hanya atas perintah Dewan Keamanan semata-mata. Ketentuan Pasal 16 SICC secara eksplisit maupun secara implisit menegaskan betapa besar peranan DK PBB dalam penyelesaian kasus yang dipandang telah merupakan pelanggaran atas ketentuan Chapter VII Piagam PBB, ”Threatens to the peace and securtity of mankind”.
Posisi Dewan Keamanan PBB tsb menimbulkan kritik tajam karena dipandang melemahkan posisi ICC di dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. Ketentuan Pasal 16 SICC tsb dapat digunakan oleh kelima anggota tetap DK PBB(Amerika Serikat; Inggeris; Cina; Perancis dan Federasi Rusia ) untuk mencegah efektivitas peranan dan fungsi ICC. Oleh karena itu delegasi India pada sidang pleno terakhir di Roma sebelum pengambilan keputusan menyatakan sebagai berikut:
”On the one hand, it is argued that the ICC is being set up to try crimes of the gravest magnitude. On the other, it is argued that the maintenance of international peace and security might require that those who are comitted these crimes should be permitted o escape justice, if the Council so decrees. The moment this argument is conceded, the Conference accepts the proposition that justice could undermine international peace and security”.

Karakteristik kedua, SICC menganut asas komplementaritas (complementarity principle) , yaitu bahwa, ICC harus (mandatory obligation) merupakan pelengkap dari yurisdiksi pengadilan nasional; bukan perpanjangan dari yurisdiksi pengadilan nasional.
Asas komplementaritas yang diusulkan semula oleh delegasi Perancis (la complementarite) menghadapi kebuntuan mengenai status ICC sebagai organ PBB,yang oleh delegasi dari negara berkembang dan maju dianggap Lembaga supra nasional yang secara mutatis mutandis bertentangan atau menyimpang dari prinsip kedaulatan negara (state souvereignty) yang merupakan pilar terpenting dalam hukum internasional terutama mengenai prinsip ”non-intervensi” (non-interference) yang berkaitan dengan masalah ”territorial integrity” dan ”equality of states”. Apalagi di dalam SICC tidak diatur secara normatif ketentuan mengenai penghormatan atas kedaulatan negara sebagaimana lazimnya ditemukan dalam berbagai konvensi internasional.
Penegasan bahwa ICC merupakan pelengkap dari pengadilan nasional ditegaskan di dalam Pasal 1 SICC,” An International Criminal Court(”the Court”) is hereby established. It shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes concern, as referred to in this Statute, and shall be complementary to national criminal jurisdictions” . Beberapa ketentuan SICC yang mencerminkan asas ini adalah dalam dalam Pasal 17 sd Pasal 19, di bawah judul ”Issues of Admissibility”; dan secara tersirat terdapat dalam Pasal 20, di bawah judul, ”Non-bis in idem”. Merujuk kepada bunyi ketentuan pasal-pasal tersebut dapat dikemukakan beberapa prinsip komplementaritas, yaitu pertama, ditegaskan bahwa, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat merupakan wewenang pengadilan nasional; kedua, jika pengadilan nasional terbukti tidak ada keinginan (unwilling) atau tidak memiliki kemampuan (unable) untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dimaksud, maka ICC akan mengambil alih kasus dimaksud dan diperiksa serta diadili di Mahkamah International Pidana di Den Haag. . Prinsip pertama, mencerminkan bahwa, SICC secara implisit masih mengakui prinsip kedaulatan negara, dan prinsip kedua, mencerminkan bahwa, SICC memiliki wewenang ”supra nasional” untuk melaksanakan pengambil-alihan proses peradilan nasional, jika klausula, ”unwillingness dan unable” dipenuhi oleh peradilan nasional tsb.
Merujuk kepada kedua prinsip tersebut di atas, telah disetujui bahwa, fungsi dan peranan ICC adalah bersifat ”ultimum remedium” atau merupakan sarana terakhir untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di suatu negara.
Sekalipun putusan pengadilan nasional telah memperoleh kekuatan hukum tetap akan tetapi merujuk kepada ketentuan pasal 20-para 3 tentang ”Non-bis in idem”; pengadilan internasional atau Adhoc tribunal dapat digelar jika syarat-syarat ”unwillingness” dan ”unable” terbukti dipenuhi oleh pengadilan nasional. Pertanyaannya, siapakah yang menetapkan atau memutuskan bahwa klausula tsb telah dipenuhi oleh peradilan nasional? Jawabannya adalah Dewan Keamanan PBB setelah memperoleh rekomendasi dari Komisi Ahli Independen (Independent Expert Comission) yang dibentuk untuk tujuan tersebut atau oleh Jaksa Penuntut Umum Internasional (International Prosecutor) atas jabatannya (in pro prio motu).

Karakteristik ketiga dari SICC, adalah, bahwa ICC menganut asas legalitas dan asas non-retroaktif . Sekalipun SICC ditujukan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat akan tetapi SICC tetap menjunjung tinggi asas legalitas dan termasuk asas non-retroaktif (tidak berlaku surut) di mana ICC hanya diberlakukan untuk kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sesudah SICC berlaku efektif (yaitu sejak Juli tahun 2002, kecuali untuk Agresi yang akan diberlakukan terhitung bulan Juli tahun 2009 yad).
Praktik dan hukum kebiasaan internasional dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti pembentukan Mahkamah Nuremberg, terbukti berbeda, karena telah terdapat yurisprudensi atau precedent, bahwa tidak ada satupun peristiwa pelanggaran HAM berat pasca peradilan Nuremberg yang luput dari jangkauan hukum peradilan internasional. Hal ini terbukti dengan pembentukan Adhoc Tribunal sebagaimama telah diuraikan di awal makalah ini. Praktik dan hukum kebiasaan internasional tersebut harus menjadi pertimbangan serius dari negara-negara yang berkeinginan untuk meratifikasi SICC termasuk Indonesia. Pertanyaan penting yang perlu diajukan dalam konteks keinginan pemerintah Indonesia meratifikasi SICC adalah, seberapa mampu pemerintah Indonesia mencegah dan ”mengamankan” hasil proses peradilan HAM Adhoc untuk kasus pelanggaran HAM di Timor Leste, dan seberapa yakin pemerintah Indonesia dapat mencegah berbagai peristiwa pelanggaran HAM sejak penumpasan peristiwa G 30 S dan berbagai dugaan kuat pelanggaran HAM berat setelah itu, tidak akan dipersoalkan kembali pasca Indonesia meratifikasi SICC?

Karakertistik keempat, SICC tidak secara khusus mengedepankan prinsip kedaulatan negara (state souvereignty) sebagaimana lazimnya pada setiap perjanjian internasional. Prinsip ini hanya diletakkan di dalam Preamble dari SICC (Alinea ke Tujuh).
Penempatan prinsip ini tidak di dalam batang tubuh SICC sungguh memperihatinkan dan tidak lazim karena menyimpang dari hukum internasional dan kebiasaan yang berkembang dalam praktik hubungan internasional di mana negara diakui sebagai subjek hukum selain organisasi internasional. Jika dihubungkan dengan karakteristik kedua SICC dan Pasal 25 SICC, maka penempatan prinsip kedaulatan negara sedemikian dapat dipahami.
Penempatan prinsip kedaulatan negara dalam SICC tsb telah dipersoalkan oleh beberapa negara terkait pertanyaan tentang siapa sesungguhnya subjek hukum ICC tsb dalam konteks hubungan internasional. SICC telah meletakkan kewajiban kepada ICC untuk melaksanakan ketentuan statuta dan dapat berhubungan langsung dengan negara sebagai subjek hukum internasional sedangkan ICC hanya sebuah lembaga peradilan internasional, dan berdasarkan SICC, para pihak dalam peristiwa pelanggaran HAM berat, adalah perorangan (bukan negara) dan ICC sebagai lembaga internasional. Dalam posisi ICC sedemikian banyak ahli hukum yang menempatkan ICC sebagai lembaga supra internasional karena tampaknya berada di atas kedaulatan suatu negara.
Karakteristik keempat di atas semakin diperkuat dengan ketentuan Pasal 12 SICC di bawah judul,” Preconditions to the exercise of jurisdiction”; di mana ICC memiliki wewenang untuk melakukan investigasi termasuk penangkapan dan penahanan di wilayah teritorial suatu negara peratifikasi. Yurisdiksi ICC sedemikian jelas bertentangan dengan Konstitusi setiap negara yang menegaskan bahwa kedaulatan teritorial suatu negara merupakan satu kesatuan dan tidak dibolehkan ada intervensi memasuki wilayah teritorial suatu negara tanpa adanya persetujuan negara ybs. Apabila hal tsb terjadi maka negara ybs telah menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada ICC. Bahkan dalam Pasal 12 para 3 SICC, ditegaskan secara eksplisit bahwa, bagi negara non-peratifikasi , jika berkeinginan untuk tunduk pada ketentuan SICC dapat menyampaikan deklarasi dengan syarat bahwa negara ybs wajib melaksanakan ketentuan SICC tanpa ada penundaan atau kekecualian terhadap ketentuan dalam Part 9, “International Cooperartioon and Judicial Assistance”.
Penolakan delegasi Amerika Serikat, setelah menandatangani pada tanggal 31 Desember 2000, kemudian menarik diri dari penandatanganan SICC; bukan disebabkan tidak menyetujui keberadaan ICC melainkan dipersoalkan bentuk ICC yang bagaimana yang diperlukan untuk menegakkan HAM Universal di dunia sebagaimana diuraikan oleh Scheffer sebagai berikut:
“...the question for the Clinton Administration has never been whether there should be an international criminal court, but rather what kind of court it should be in order to operate eficiently, effectively and appropriately within a global system that also requires our constant vigilance to protect international peace and security”.

Karakteristik kelima, SICC menganut asas pertanggungjawaban pidana perorangan (individual criminal responsibility). Secara ekplisit SICC, dengan kalimat yang bersifat ”mandatory obligation”, melarang negara mengambil alih tanggung jawab dari tanggung jawab perorangan yang diduga kuat atau telah terbukti melakukan pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi ICC. Pengakuan pertanggungjawaban individu dalam SICC merupakan salah satu sumber hukum internasional baru di dalam kancah hubungan internasional abad 21. SICC merupakan lembaga strategis untuk mencapai tujuan ideal perjuangan hak asasi manusia yang telah diakui dalam Piagam HAM PBB.
Berkaitan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana individu tersebut, SICC menganut prinsip non-impunity sebagaimana ditegaskan di dalam Mukadimah SICC alinea ke lima, ”to put an end to impunity for the perpetrators of threse crimes..”.
Alinea kelima ini merupakan konsekuensi logis dari bunyi alinea keempat, yang menegaskan, ”that the most serious crimes of concern to the international community as a whole must not go unpunished...”. Prinsip ”non-impunity” mengandung konsekuensi logis penyidikan kasus pelanggaran HAM yang berat harus sampai menjangkau ”senior state officials” di negara ybs sehingga ICC memerlukan kerjasama dari negara ybs untuk melaksanakan penangkapan dan penahanan terhadap ybs. Di dalam implementasinya sudah tentu prinsip ini akan berbenturan dengan hak imunitas pelaku yang memiliki jabatan publik seperti kepala negara atau para menteri. Dalam konteks ini, maka tidak berlaku prinsip, ”par in parem non habet imperium” ( an equal has no power over an equal) karena ICC yang memiliki dan berwenang melaksanakan yurisdiksi tsb bukan negara yang berkewajiban menangkap pelakunya.

Karakeristik keenam. Untuk mencapai tujuan sebagaimana ditegaskan dalam alinea keempat dan alinea kelima Mukadimah SICC, SICC telah memuat ketentuan tentang, ”Irrelevance of official capacity” (Tidak ada Relevansi Kapasitas selaku Pejabat) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 para 1 dan para 2. Bunyi Pasal 27 para 1:
” This Statute shall apply equally to all persons without any distinction based on official capacity. In particular, official capacity as a Head of State or Government, a member of a Government or parliament, an elected representative or a government official shall in no case exempt a person from criminal responsibility under this Statute, nor shall it, in and of itself, constitute a ground for reduction of sentence”.
Para 2 Pasal 27 merupakan konsekuensi hukum dari para 1 menegaskan,
“Immunities or special procedural rules which may attach to the official capacity of a person, where under national law or international law, shall not bar the Court from exercising its jurisdiction over such a person
Penafsiran hukum atas ketentuan Pasal 27 menimbulkan perdebatan hangat di kalangan ahli hukum internasional karena, di satu sisi SICC bertujuan untuk memperkuat penegakkan HAM dalam pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi ICC, tetapi di sisi lain, bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara yang telah dianut di dalam hukum internasional, dikenal dengan prinsip non-interference. Secara khusus, perdebatan tsb terjadi dalam dua sub-disiplin hukum internasional, yaitu imunitas diplomatik dan kedaulatan hukum suatu negara di satu sisi, dan di sisi lain mengenai subdisiplin hukum yang relatif baru yaitu aspek humanitarin yang menetapkan tindak pidana tertentu sebagai “crimes under international law (international criminal law).
Ketentuan Pasal 27 tidak mengakui hak-hak istimewa (privileges) yang dimiliki dan melekat kepada jabatan publik setingkat kepala negara atau menteri atau pejabat publik yang ditugasi atas nama negara di negara asing. Perdebatan semakin menghangat setelah peserta sidang di Roma menyepakati dimasukkan ketentuan Pasal 98 SICC , mengenai “Cooperation with respect to waiver of immunity and consent to surrender”. Di dalam ketentuan Pasal 98 SICC telah ditetapkan bahwa, ICC tidak dapat meminta penyerahan seseorang yang berada di negara ketiga karena telah melakukan pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi ICC sebelum ICC memperoleh persetujuan dari negara ketiga dimaksud.
Persoalan hukum dari ketentuan ini, apakah negara ketiga dapat begitu saja melepaskan hak untuk menyerahkan ybs kepada ICC tanpa ada persetujuan dari negara asal pelaku ybs, sedangkan pelaku adalah agen diplomatik? Hal ini perlu dipersoalkan karena kedua negara dimaksud (negara yang mengirimkan) dan negara penerima (negara yang diminta) ICC terikat kepada prinsip dasar hukum internasional yaitu prinsip non-intervensi dan ketentuan-ketentuan mengenai imunitas diplomatik sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina tentang “Hubungan Diplomatik “(1961)dan Konvensi Wina tentang “Hubungan Konsuler” (1963). Di dalam praktik peradilan internasional telah banyak kepala negara dibebaskan dari tanggung jawab melakukan pelanggaran HAM berat dengan alasan mereka memiliki hak imunitas dalam posisinya selaku kepala negara. Jika negara ketiga dimaksud menyerahkannnya kepada ICC maka berdasarkan kedua konvensi tsb di atas (diplomatik dan konsuler), telah terjadi pelanggaran atas prinsip “non-interference” dan berdampak terhadap hubungan baik negara ybs dengan negara asal pelaku.
Menyikapi persoalan hukum sebagaimana uraian di atas, tampaknya dengan berlakunya SICC, yurisprudensi internasional tersebut di atas dalam hal pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh seorang kepala negara atau pejabat diplomatic yang memiliki hak imunitas, berada di ujung tanduk. Sedangkan praktik dalam beberapa yurisprudensi internasional mencatat pembentukan khusus Mahkamah Adhoc melalui Resolusi Dewan Keamanan telah berhasil menjatuhkan hukuman terhadap para pelakunya, seperti Putusan Mahkamah Adhoc yang dibentuk di bekas jajahan yugoslavia (1993) dan Rwanda (1996) dan di Darfur (2006) dan proses peradilan yang sedang berlangsung di Kamboja (2007).
Keberadaan ketentuan Pasal 27 dihubungkan dengan Pasal 98 SICC sesungguhnya merupakan terobosan besar (major breakthrough) dalam proses penegakan Hukum Hak Asasi Manusia internasional. Ketentuan yang amat strategis dan juga memperkuat posisi ICC dalam penegakan HAM adalah, bahwa SICC tidak menganut ketentuan daluarsa pelanggaran HAM yang berat (Pasal 29 SICC)
Dalam kaitan ini sesungguhnya keberadaan SICC dan ketentuan terobosannya itu sejalan dengan ketentuan UUD 1945 dan perubahannya, Bab XA (Pasal 28 A sd Pasal 28 J) dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Namun demikian, di dalam persiapan untuk meratifikasi SICC, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa masalah krusial dan strategis di dalam ketentuan SICC itu sendiri, dan dampaknya di bidang hukum,politik, sosial dan ekonomi bagi bangsa dan negara ini di masa yad. Dampak tsb bukan hanya berdiri sendiri akan tetapi juga berkaitan erat dengan kemampuan pemerintah dan bangsa Indonesia di dalam menata dan memelihara serta mempertahankan seluruh infrastruktur penegakan hukum termasuk profesionalisme aparatur penegak hukumnya sesuai dengan standar-standar internasional dalam penegakan hukum hak asasi manusia.
Untuk memperkuat pernyataan di atas, perlu dikemukakan bagaimana gigihnya pemerintah Amerika Serikat menolak bahkan berkeinginan melemahkan posisi ICC tsb dan menarik manfaat dari sikap pemerintah Amerika Serikat terhadap keberadaan ICC.
Pemerintah Amerika Serikat melalui Senator Jesse Helms,telah berusaha memasukkan undang-undang (S-2726) yang melarang pemerintah Amerika Serikat bekerja sama dengan ICC, dan secara sungguh-sungguh melarang berhubungan dengan negara peratifikasi ICC yang mendukung keberadaan ICC. ICC dilarang melakukan investigasi di setiap wilayah yurisdiksi Amerika Serikat. Undang-undang tsb juga memerintahkan pemerintah Amerika Serikat untuk mem-veto setiap resolusi DK PBB menarik mundur pasukan Amerika Serikat, kecuali resolusi tsb memberikan kekecualian permanen kepada personil militer Amerika Serikat dari penuntutan oleh ICC. Dalam UU tsb ditegaskan larangan penempatan pasukan Amerika Serikat di negara peratifikasi ICC untuk mencegah ICC menuntut pasukan dimaksud. UU tersebut juga melarang mentransfer informasi mengenai keamanan nasional kepada negara peratifikasi ICC kecuali ada kesepakatan tertulis tidak akan disampaikan kepada ICC. Begitu pula UU tsb melarang bantuan militer kepada setiap negara yang telah meratifikasi SICC kecuali ada perjanjian tertulis bahwa negara tsb mencegah ICC untuk melakukan penuntutan terhadap warga negara AS. Selain itu, pidato Senator Jesse Helms dihadapan Sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 20 Januari tahun 2000, penuh dengan nada ancaman serius terhadap hubungan antara pemerintah Amerika Serikat dan PBB jika PBB memaksakan kehendaknya menegakkan SICC dengan menempatkan ICC sebagai “the sole source of legitimacy” dalam melaksanakan kekuatan bersenjata dengan alasan pendiri negara AS telah membentuk pemerintahan berdasarkan sistem “check and balances” dan sistem pemisahan kekuasaan yang tegas.
Berdasarkan UUD 1945 dan Perubahannya telah ditegaskan bahwa, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, dan Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedua ayat dari Pasal 1 UUD 1945 menegaskan bahwa NKRI merupakan negara berdaulat. Dalam hal mempertahankan kedaulatan hukum NKRI maka telah ditetapkan di dalam UUD bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah(sic.pen) Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah (sic.pen) Mahkamah Konstitusi. Apakah mungkin dengan ratifikasi ICC, kedaulatan hukum NKRI juga akan dilaksanakan oleh sebuah Badan peradilan (internasional ) lainnya ?





Penutup

1. Memahami untuk dapat melaksanakan ketentuan perjanjian internasional tidak semata-mata cukup memahami sisi normatif dari seluruh substansi yang diatur di dalamnya; melainkan juga perlu memahami peta politik internasional secara benar dan dalam kaitannya dengan ketahanan nasional baik dilihat dari aspek hukum,politik, sosial,budaya dan ekonomi.
2. Prinsip kedaulatan negara yang telah dianut dan dilaksanakan seratus tahun lamanya dalam hubungan dan percaturan politik hubungan internasional kini di era globalisasi telah dipinggirkan secara gradual melalui konsep Ancaman Global yang memerlukan dukungan kerjasama global yang dilandaskan kepada asumsi bahwa, tidak ada satupun negara di dunia kini yang dapat menyelesaikan masalah nasionalnya tanpa ada bantuan dan kerjasama internasional baik secara bilateral maupun multilateral.
3. Ketidakberdayaan negara berkembang pada umumnya adalah disebabkan karena keadaan sosial ekonomi dan kesiapan aparatur penegak hukum serta birokrasi yang masih berada pada tingkat madya sehingga belum mampu secara memadai dan tuntas menyelesaikan masalah-masalah nasionalnya termasuk masalah pelanggaran HAM berat. Asas komplementaritas yang merupakan salah satu ikon SICC, bukan satu-satunya jaminan bahwa pengadilan nasional sesungguhnya dapat memberikan jaminan perlindungan dan penegakan HAM secara utuh. Hal ini disebabkan asas komplementaritas yang diwujudkan dalam ketentuan Pasal 17 SICC, masih dipandang sebagai “ancaman terselubung” terhadap kedaulatan suatu negara sebagaimana dikemukakan oleh Louis An Arbour, mantan Jaksa Penuntut Internasional pada ICC :” The regime (asas komplementaritas) would work in favour rich, developed countries and against poor countries. Although the Court’s Prosecutor might easily make the claim that a justice system in an underdeveloped country was ineffective and therefore “unable” to proceed, essentially for reasons of poverty, the difficulties involved in challenging a State with sophisticated and functional justice system would be virtually insurmountable. Certainly there is a danger that the provisions of Article 17 will become a tool for overly harsh assessments of the judicial machinery in developing countries”.
4. Memahami seluruh ketentuan SICC khususnya yang saya nilai strategis dikaitkan dengan sistem hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sudah tentu ratifikasi SICC memerlukan persiapan-persiapan tidak hanya kesiapan Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan RI dengan jajaran di bawahnya serta ABRI melainkan juga kesiapan lembaga penegak hukum terkait dan KOMNAS HAM yang menjadi ujung tombak pengawasan dan penyelidikan pelanggaran HAM berat serta kerja sama antara lembaga-lembaga dimaksud satu sama lain. Hal ini disebabkan seketika ratifikasi SICC oleh Pemerintah Indonesia dilaksanakan, maka seketika itu, kewajiban-kewajiban selain hak-hak selaku negara peratifikasi mulai berjalan tanpa ada celah hukum kekecualian sekecil apapun untuk menolak atau menunda-nunda implementasi ketentuan dalam SICC.
5. Ratifikasi merupakan proses politik, bukan semata-mata proses hukum akan tetapi momentum ratifikasi merupakan awal masuknya pengaruh dan tekanan internasional di mana keberhasilan perlindungan dan penegakan HAM bukan diukur dari kondisi sosial, budaya, hukum dan politik nasional atau sarana dan prasarana yang tersedia melainkan akan diukur dari parameter standar internasional penegakan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam SICC, tanpa kecuali.