RATIFIKASI STATUTA ICC :PROBLEMA DAN PROSPEKNYA
PROF.DR.ROMLI ATMASASMITA,S.H.,LL.M
Pengantar
Penyusunan Statuta ICC telah melalui sejarah perjalanan yang panjang, dirintis sejak tahun 1952 oleh Komisi Hukum Internasional yang telah diberi mandat oleh Majelis Umum PBB. Pada tahun 1994, Komisi Hukum Internasional telah berhasil menyelesaikan Draft Statuta yang pertama, dan dua tahun kemudian, pada tahun 1996, Komisi Hukum Internasional telah berhasil menyepakati Draft final mengenai, ” Code of Crimes Against the Peace and the Security of Mankind”. Kedua Draft Code tersebut merupakan karya ahli hukum internasional yang sangat monumental di dalam mempersiapkan Statuta Mahkamah Tetap Pidana Internasional.
Sejalan dengan resolusi Sidang Majelis Umum PBB tahun 1996 dan 1997, telah diselenggarakan Konprensi Diplomatik mengenai Pembentukan Mahkamah Tetap Pidana Internasional di Roma pada tanggal 15 Juni tahun 1998 sampai dengan tanggal 17 July 1998, diikuti oleh 160 negara anggota Delegasi termasuk Indonesia.Statuta ICC telah diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 dan telah berlaku efektif sejak tahun 2002, sampai saat ini telah tercatat 120 negara penandatangan, dan 104 negara peratifikasi, diantaranya, termasuk di Asia yaitu Kamboja (ratifikasi tanggal 11 April 2002); dan Timor Leste,(ratifikasi pada tanggal 6 September 2002). Perlu diketahui pada saat adopsi SICC, 120 negara peserta setuju mengadopsi SICC, 7 negara peserta menolak termasuk Amerika Serikat, dan 21 negara peserta menyatakan abstain.Sampai saat ini,belum ada satupun negara Uni Emirat dan negara teluk telah meratifikasi SICC, begitupula negara anggota Asean. Bahkan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat, Rusia, China,tidak meratifikasi statuta tersebut dengan berbagai pertimbangan kepentingan nasional dan internasional yang dihadapi baik sekarang maupun untuk masa yad. Israel secara tegas menolak menjadi negara pihak dalam SICC.
Sehubungan dengan rencana pemerintah Indonesia meratifikasi SICC yang salah satu langkah tindak lanjut dalam RAN HAM 2004-2009, masih diperlukan pertimbangan objektif, hati-hati, dan sungguh-sungguh mengantisipasi dampak ratifikasi terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara, bukan hanya dari aspek hukum dan politik semata-mata,melainkan juga dari sisi sosial –kemasyarakatan dalam negeri dalam kurun waktu lima atau sepuluh tahun yad.
Untuk memahami SICC secara menyeluruh dengan beberapa ketentuan strategis di dalamnya sebagai langkah persiapan ratifikasi SICC, akan diuraikan beberapa karakteristik SICC. Uraian berikut merupakan analisis dari sisi hukum pidana internasional dilengkapi dengan beberapa referensi khusus mengenai masalah SICC.
Karakteristik dan substansi strategis dalam Statuta ICC
Karakteristik pertama dan terpenting dari Statuta ICC (SICC), bahwa SICC termasuk ke dalam perjanjian yang tidak boleh direservasi (non-reserved convention) oleh negara peratifikasi. Hal ini ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 120 SICC. Sekalipun demikian, setiap negara peratifikasi masih dibolehkan menyatakan suatu deklarasi terhadap SICC tsb. Dampak dari status ”non-reserved convention”(NRC) terutama bagi negara peratifikasi ada 4(empat) kewajiban yang harus dilaksanakan., yaitu pertama, negara peratifikasi harus (shall) bekerja sama dengan Penuntut Umum Internasional; kedua, melaksanakan harmonisasi hukum nasional dengan standar ICC; ketiga, menggunakan kekuatan polisi dan fasilitas lainnya untuk menangkap seseorang yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran HAM berat; dan keempat, melaksanakan perampasan atau penyitaan jika diperintahkan oleh Penuntut Internasional. Sedangkan bagi negara non-peratifikasi, masih harus berkoordinasi dengan ”the Assembly of State Parties (ASP) dan atau dengan Dewan Keamanan PBB.
Sekalipun konvensi tsb merupakan NRC akan tetapi penandatanganan dan peratifikasi atas SICC dapat ditarik kembali (Pasal 127), sekalipun demikian negara ybs masih tetap ”terikat” terhadap kewajiban sebagaimana dicantumkan dalam Para 2 dari Pasal 127 SICC, antara lain sebagai berikut: menegaskan:” A State shall not be discharged, by reason of its w ithdrawal, from th obligations arising from this Statute while it was a Party tothe Statute...”. Its withdrawal shall not affect any cooperation with the Court in connection with criminal investigations and proceedings in relation to which the withdrawing State had a duty to cooperate and which were commenced prior to the date on which the withdrawal became effective, nor shall it prejudice in any way the continued consideration of any matter which was already under consideration by the Court prior to the date on which the withdrawal became effective.”
Dilain pihak, dalam konteks Pasal 120 dan Pasal 127 para 2 di atas, perlu dipertimbangkan posisi Lembaga ICC dalam struktur organisasi PBB sampai saat ini masih belum jelas, mengenai, apakah ICC merupakan organ PBB yang berdiri sendiri sepertti ICJ ataukah masih berada di bawah ”pengaruh atau tekanan” lembaga Dewan Keamanan PBB (Security Council). Ketentuan Pasal 2 SICC belum jelas posisi ICC di dalam organisasi PBB karena ditegaskan, ”The Court shall be brought into relationship with the United Nations through an agreement to be approved by the Assembly of State Parties to the Statute...”. Namun yurisdiksi ICC terhadap wilayah teritorial suatu negara telah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 4 para 2, ” The Court may exercise its function and powers, as provided in this Statute, on the territory of any State party and, by special agreement,on the territory of of any other State”.
Merujuk kepada ketentuan Pasal 16 SICC dibawah judul, ”Deferral of investigation or prosecution”, jelas bahwa dimulainya penyidikan dan penuntutan kasus pelanggaran HAM berat (gross violaton of human rights) hanya atas perintah Dewan Keamanan semata-mata. Ketentuan Pasal 16 SICC secara eksplisit maupun secara implisit menegaskan betapa besar peranan DK PBB dalam penyelesaian kasus yang dipandang telah merupakan pelanggaran atas ketentuan Chapter VII Piagam PBB, ”Threatens to the peace and securtity of mankind”.
Posisi Dewan Keamanan PBB tsb menimbulkan kritik tajam karena dipandang melemahkan posisi ICC di dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. Ketentuan Pasal 16 SICC tsb dapat digunakan oleh kelima anggota tetap DK PBB(Amerika Serikat; Inggeris; Cina; Perancis dan Federasi Rusia ) untuk mencegah efektivitas peranan dan fungsi ICC. Oleh karena itu delegasi India pada sidang pleno terakhir di Roma sebelum pengambilan keputusan menyatakan sebagai berikut:
”On the one hand, it is argued that the ICC is being set up to try crimes of the gravest magnitude. On the other, it is argued that the maintenance of international peace and security might require that those who are comitted these crimes should be permitted o escape justice, if the Council so decrees. The moment this argument is conceded, the Conference accepts the proposition that justice could undermine international peace and security”.
Karakteristik kedua, SICC menganut asas komplementaritas (complementarity principle) , yaitu bahwa, ICC harus (mandatory obligation) merupakan pelengkap dari yurisdiksi pengadilan nasional; bukan perpanjangan dari yurisdiksi pengadilan nasional.
Asas komplementaritas yang diusulkan semula oleh delegasi Perancis (la complementarite) menghadapi kebuntuan mengenai status ICC sebagai organ PBB,yang oleh delegasi dari negara berkembang dan maju dianggap Lembaga supra nasional yang secara mutatis mutandis bertentangan atau menyimpang dari prinsip kedaulatan negara (state souvereignty) yang merupakan pilar terpenting dalam hukum internasional terutama mengenai prinsip ”non-intervensi” (non-interference) yang berkaitan dengan masalah ”territorial integrity” dan ”equality of states”. Apalagi di dalam SICC tidak diatur secara normatif ketentuan mengenai penghormatan atas kedaulatan negara sebagaimana lazimnya ditemukan dalam berbagai konvensi internasional.
Penegasan bahwa ICC merupakan pelengkap dari pengadilan nasional ditegaskan di dalam Pasal 1 SICC,” An International Criminal Court(”the Court”) is hereby established. It shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes concern, as referred to in this Statute, and shall be complementary to national criminal jurisdictions” . Beberapa ketentuan SICC yang mencerminkan asas ini adalah dalam dalam Pasal 17 sd Pasal 19, di bawah judul ”Issues of Admissibility”; dan secara tersirat terdapat dalam Pasal 20, di bawah judul, ”Non-bis in idem”. Merujuk kepada bunyi ketentuan pasal-pasal tersebut dapat dikemukakan beberapa prinsip komplementaritas, yaitu pertama, ditegaskan bahwa, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat merupakan wewenang pengadilan nasional; kedua, jika pengadilan nasional terbukti tidak ada keinginan (unwilling) atau tidak memiliki kemampuan (unable) untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dimaksud, maka ICC akan mengambil alih kasus dimaksud dan diperiksa serta diadili di Mahkamah International Pidana di Den Haag. . Prinsip pertama, mencerminkan bahwa, SICC secara implisit masih mengakui prinsip kedaulatan negara, dan prinsip kedua, mencerminkan bahwa, SICC memiliki wewenang ”supra nasional” untuk melaksanakan pengambil-alihan proses peradilan nasional, jika klausula, ”unwillingness dan unable” dipenuhi oleh peradilan nasional tsb.
Merujuk kepada kedua prinsip tersebut di atas, telah disetujui bahwa, fungsi dan peranan ICC adalah bersifat ”ultimum remedium” atau merupakan sarana terakhir untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di suatu negara.
Sekalipun putusan pengadilan nasional telah memperoleh kekuatan hukum tetap akan tetapi merujuk kepada ketentuan pasal 20-para 3 tentang ”Non-bis in idem”; pengadilan internasional atau Adhoc tribunal dapat digelar jika syarat-syarat ”unwillingness” dan ”unable” terbukti dipenuhi oleh pengadilan nasional. Pertanyaannya, siapakah yang menetapkan atau memutuskan bahwa klausula tsb telah dipenuhi oleh peradilan nasional? Jawabannya adalah Dewan Keamanan PBB setelah memperoleh rekomendasi dari Komisi Ahli Independen (Independent Expert Comission) yang dibentuk untuk tujuan tersebut atau oleh Jaksa Penuntut Umum Internasional (International Prosecutor) atas jabatannya (in pro prio motu).
Karakteristik ketiga dari SICC, adalah, bahwa ICC menganut asas legalitas dan asas non-retroaktif . Sekalipun SICC ditujukan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat akan tetapi SICC tetap menjunjung tinggi asas legalitas dan termasuk asas non-retroaktif (tidak berlaku surut) di mana ICC hanya diberlakukan untuk kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sesudah SICC berlaku efektif (yaitu sejak Juli tahun 2002, kecuali untuk Agresi yang akan diberlakukan terhitung bulan Juli tahun 2009 yad).
Praktik dan hukum kebiasaan internasional dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti pembentukan Mahkamah Nuremberg, terbukti berbeda, karena telah terdapat yurisprudensi atau precedent, bahwa tidak ada satupun peristiwa pelanggaran HAM berat pasca peradilan Nuremberg yang luput dari jangkauan hukum peradilan internasional. Hal ini terbukti dengan pembentukan Adhoc Tribunal sebagaimama telah diuraikan di awal makalah ini. Praktik dan hukum kebiasaan internasional tersebut harus menjadi pertimbangan serius dari negara-negara yang berkeinginan untuk meratifikasi SICC termasuk Indonesia. Pertanyaan penting yang perlu diajukan dalam konteks keinginan pemerintah Indonesia meratifikasi SICC adalah, seberapa mampu pemerintah Indonesia mencegah dan ”mengamankan” hasil proses peradilan HAM Adhoc untuk kasus pelanggaran HAM di Timor Leste, dan seberapa yakin pemerintah Indonesia dapat mencegah berbagai peristiwa pelanggaran HAM sejak penumpasan peristiwa G 30 S dan berbagai dugaan kuat pelanggaran HAM berat setelah itu, tidak akan dipersoalkan kembali pasca Indonesia meratifikasi SICC?
Karakertistik keempat, SICC tidak secara khusus mengedepankan prinsip kedaulatan negara (state souvereignty) sebagaimana lazimnya pada setiap perjanjian internasional. Prinsip ini hanya diletakkan di dalam Preamble dari SICC (Alinea ke Tujuh).
Penempatan prinsip ini tidak di dalam batang tubuh SICC sungguh memperihatinkan dan tidak lazim karena menyimpang dari hukum internasional dan kebiasaan yang berkembang dalam praktik hubungan internasional di mana negara diakui sebagai subjek hukum selain organisasi internasional. Jika dihubungkan dengan karakteristik kedua SICC dan Pasal 25 SICC, maka penempatan prinsip kedaulatan negara sedemikian dapat dipahami.
Penempatan prinsip kedaulatan negara dalam SICC tsb telah dipersoalkan oleh beberapa negara terkait pertanyaan tentang siapa sesungguhnya subjek hukum ICC tsb dalam konteks hubungan internasional. SICC telah meletakkan kewajiban kepada ICC untuk melaksanakan ketentuan statuta dan dapat berhubungan langsung dengan negara sebagai subjek hukum internasional sedangkan ICC hanya sebuah lembaga peradilan internasional, dan berdasarkan SICC, para pihak dalam peristiwa pelanggaran HAM berat, adalah perorangan (bukan negara) dan ICC sebagai lembaga internasional. Dalam posisi ICC sedemikian banyak ahli hukum yang menempatkan ICC sebagai lembaga supra internasional karena tampaknya berada di atas kedaulatan suatu negara.
Karakteristik keempat di atas semakin diperkuat dengan ketentuan Pasal 12 SICC di bawah judul,” Preconditions to the exercise of jurisdiction”; di mana ICC memiliki wewenang untuk melakukan investigasi termasuk penangkapan dan penahanan di wilayah teritorial suatu negara peratifikasi. Yurisdiksi ICC sedemikian jelas bertentangan dengan Konstitusi setiap negara yang menegaskan bahwa kedaulatan teritorial suatu negara merupakan satu kesatuan dan tidak dibolehkan ada intervensi memasuki wilayah teritorial suatu negara tanpa adanya persetujuan negara ybs. Apabila hal tsb terjadi maka negara ybs telah menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada ICC. Bahkan dalam Pasal 12 para 3 SICC, ditegaskan secara eksplisit bahwa, bagi negara non-peratifikasi , jika berkeinginan untuk tunduk pada ketentuan SICC dapat menyampaikan deklarasi dengan syarat bahwa negara ybs wajib melaksanakan ketentuan SICC tanpa ada penundaan atau kekecualian terhadap ketentuan dalam Part 9, “International Cooperartioon and Judicial Assistance”.
Penolakan delegasi Amerika Serikat, setelah menandatangani pada tanggal 31 Desember 2000, kemudian menarik diri dari penandatanganan SICC; bukan disebabkan tidak menyetujui keberadaan ICC melainkan dipersoalkan bentuk ICC yang bagaimana yang diperlukan untuk menegakkan HAM Universal di dunia sebagaimana diuraikan oleh Scheffer sebagai berikut:
“...the question for the Clinton Administration has never been whether there should be an international criminal court, but rather what kind of court it should be in order to operate eficiently, effectively and appropriately within a global system that also requires our constant vigilance to protect international peace and security”.
Karakteristik kelima, SICC menganut asas pertanggungjawaban pidana perorangan (individual criminal responsibility). Secara ekplisit SICC, dengan kalimat yang bersifat ”mandatory obligation”, melarang negara mengambil alih tanggung jawab dari tanggung jawab perorangan yang diduga kuat atau telah terbukti melakukan pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi ICC. Pengakuan pertanggungjawaban individu dalam SICC merupakan salah satu sumber hukum internasional baru di dalam kancah hubungan internasional abad 21. SICC merupakan lembaga strategis untuk mencapai tujuan ideal perjuangan hak asasi manusia yang telah diakui dalam Piagam HAM PBB.
Berkaitan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana individu tersebut, SICC menganut prinsip non-impunity sebagaimana ditegaskan di dalam Mukadimah SICC alinea ke lima, ”to put an end to impunity for the perpetrators of threse crimes..”.
Alinea kelima ini merupakan konsekuensi logis dari bunyi alinea keempat, yang menegaskan, ”that the most serious crimes of concern to the international community as a whole must not go unpunished...”. Prinsip ”non-impunity” mengandung konsekuensi logis penyidikan kasus pelanggaran HAM yang berat harus sampai menjangkau ”senior state officials” di negara ybs sehingga ICC memerlukan kerjasama dari negara ybs untuk melaksanakan penangkapan dan penahanan terhadap ybs. Di dalam implementasinya sudah tentu prinsip ini akan berbenturan dengan hak imunitas pelaku yang memiliki jabatan publik seperti kepala negara atau para menteri. Dalam konteks ini, maka tidak berlaku prinsip, ”par in parem non habet imperium” ( an equal has no power over an equal) karena ICC yang memiliki dan berwenang melaksanakan yurisdiksi tsb bukan negara yang berkewajiban menangkap pelakunya.
Karakeristik keenam. Untuk mencapai tujuan sebagaimana ditegaskan dalam alinea keempat dan alinea kelima Mukadimah SICC, SICC telah memuat ketentuan tentang, ”Irrelevance of official capacity” (Tidak ada Relevansi Kapasitas selaku Pejabat) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 para 1 dan para 2. Bunyi Pasal 27 para 1:
” This Statute shall apply equally to all persons without any distinction based on official capacity. In particular, official capacity as a Head of State or Government, a member of a Government or parliament, an elected representative or a government official shall in no case exempt a person from criminal responsibility under this Statute, nor shall it, in and of itself, constitute a ground for reduction of sentence”.
Para 2 Pasal 27 merupakan konsekuensi hukum dari para 1 menegaskan,
“Immunities or special procedural rules which may attach to the official capacity of a person, where under national law or international law, shall not bar the Court from exercising its jurisdiction over such a person
Penafsiran hukum atas ketentuan Pasal 27 menimbulkan perdebatan hangat di kalangan ahli hukum internasional karena, di satu sisi SICC bertujuan untuk memperkuat penegakkan HAM dalam pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi ICC, tetapi di sisi lain, bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara yang telah dianut di dalam hukum internasional, dikenal dengan prinsip non-interference. Secara khusus, perdebatan tsb terjadi dalam dua sub-disiplin hukum internasional, yaitu imunitas diplomatik dan kedaulatan hukum suatu negara di satu sisi, dan di sisi lain mengenai subdisiplin hukum yang relatif baru yaitu aspek humanitarin yang menetapkan tindak pidana tertentu sebagai “crimes under international law (international criminal law).
Ketentuan Pasal 27 tidak mengakui hak-hak istimewa (privileges) yang dimiliki dan melekat kepada jabatan publik setingkat kepala negara atau menteri atau pejabat publik yang ditugasi atas nama negara di negara asing. Perdebatan semakin menghangat setelah peserta sidang di Roma menyepakati dimasukkan ketentuan Pasal 98 SICC , mengenai “Cooperation with respect to waiver of immunity and consent to surrender”. Di dalam ketentuan Pasal 98 SICC telah ditetapkan bahwa, ICC tidak dapat meminta penyerahan seseorang yang berada di negara ketiga karena telah melakukan pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi ICC sebelum ICC memperoleh persetujuan dari negara ketiga dimaksud.
Persoalan hukum dari ketentuan ini, apakah negara ketiga dapat begitu saja melepaskan hak untuk menyerahkan ybs kepada ICC tanpa ada persetujuan dari negara asal pelaku ybs, sedangkan pelaku adalah agen diplomatik? Hal ini perlu dipersoalkan karena kedua negara dimaksud (negara yang mengirimkan) dan negara penerima (negara yang diminta) ICC terikat kepada prinsip dasar hukum internasional yaitu prinsip non-intervensi dan ketentuan-ketentuan mengenai imunitas diplomatik sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina tentang “Hubungan Diplomatik “(1961)dan Konvensi Wina tentang “Hubungan Konsuler” (1963). Di dalam praktik peradilan internasional telah banyak kepala negara dibebaskan dari tanggung jawab melakukan pelanggaran HAM berat dengan alasan mereka memiliki hak imunitas dalam posisinya selaku kepala negara. Jika negara ketiga dimaksud menyerahkannnya kepada ICC maka berdasarkan kedua konvensi tsb di atas (diplomatik dan konsuler), telah terjadi pelanggaran atas prinsip “non-interference” dan berdampak terhadap hubungan baik negara ybs dengan negara asal pelaku.
Menyikapi persoalan hukum sebagaimana uraian di atas, tampaknya dengan berlakunya SICC, yurisprudensi internasional tersebut di atas dalam hal pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh seorang kepala negara atau pejabat diplomatic yang memiliki hak imunitas, berada di ujung tanduk. Sedangkan praktik dalam beberapa yurisprudensi internasional mencatat pembentukan khusus Mahkamah Adhoc melalui Resolusi Dewan Keamanan telah berhasil menjatuhkan hukuman terhadap para pelakunya, seperti Putusan Mahkamah Adhoc yang dibentuk di bekas jajahan yugoslavia (1993) dan Rwanda (1996) dan di Darfur (2006) dan proses peradilan yang sedang berlangsung di Kamboja (2007).
Keberadaan ketentuan Pasal 27 dihubungkan dengan Pasal 98 SICC sesungguhnya merupakan terobosan besar (major breakthrough) dalam proses penegakan Hukum Hak Asasi Manusia internasional. Ketentuan yang amat strategis dan juga memperkuat posisi ICC dalam penegakan HAM adalah, bahwa SICC tidak menganut ketentuan daluarsa pelanggaran HAM yang berat (Pasal 29 SICC)
Dalam kaitan ini sesungguhnya keberadaan SICC dan ketentuan terobosannya itu sejalan dengan ketentuan UUD 1945 dan perubahannya, Bab XA (Pasal 28 A sd Pasal 28 J) dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Namun demikian, di dalam persiapan untuk meratifikasi SICC, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa masalah krusial dan strategis di dalam ketentuan SICC itu sendiri, dan dampaknya di bidang hukum,politik, sosial dan ekonomi bagi bangsa dan negara ini di masa yad. Dampak tsb bukan hanya berdiri sendiri akan tetapi juga berkaitan erat dengan kemampuan pemerintah dan bangsa Indonesia di dalam menata dan memelihara serta mempertahankan seluruh infrastruktur penegakan hukum termasuk profesionalisme aparatur penegak hukumnya sesuai dengan standar-standar internasional dalam penegakan hukum hak asasi manusia.
Untuk memperkuat pernyataan di atas, perlu dikemukakan bagaimana gigihnya pemerintah Amerika Serikat menolak bahkan berkeinginan melemahkan posisi ICC tsb dan menarik manfaat dari sikap pemerintah Amerika Serikat terhadap keberadaan ICC.
Pemerintah Amerika Serikat melalui Senator Jesse Helms,telah berusaha memasukkan undang-undang (S-2726) yang melarang pemerintah Amerika Serikat bekerja sama dengan ICC, dan secara sungguh-sungguh melarang berhubungan dengan negara peratifikasi ICC yang mendukung keberadaan ICC. ICC dilarang melakukan investigasi di setiap wilayah yurisdiksi Amerika Serikat. Undang-undang tsb juga memerintahkan pemerintah Amerika Serikat untuk mem-veto setiap resolusi DK PBB menarik mundur pasukan Amerika Serikat, kecuali resolusi tsb memberikan kekecualian permanen kepada personil militer Amerika Serikat dari penuntutan oleh ICC. Dalam UU tsb ditegaskan larangan penempatan pasukan Amerika Serikat di negara peratifikasi ICC untuk mencegah ICC menuntut pasukan dimaksud. UU tersebut juga melarang mentransfer informasi mengenai keamanan nasional kepada negara peratifikasi ICC kecuali ada kesepakatan tertulis tidak akan disampaikan kepada ICC. Begitu pula UU tsb melarang bantuan militer kepada setiap negara yang telah meratifikasi SICC kecuali ada perjanjian tertulis bahwa negara tsb mencegah ICC untuk melakukan penuntutan terhadap warga negara AS. Selain itu, pidato Senator Jesse Helms dihadapan Sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 20 Januari tahun 2000, penuh dengan nada ancaman serius terhadap hubungan antara pemerintah Amerika Serikat dan PBB jika PBB memaksakan kehendaknya menegakkan SICC dengan menempatkan ICC sebagai “the sole source of legitimacy” dalam melaksanakan kekuatan bersenjata dengan alasan pendiri negara AS telah membentuk pemerintahan berdasarkan sistem “check and balances” dan sistem pemisahan kekuasaan yang tegas.
Berdasarkan UUD 1945 dan Perubahannya telah ditegaskan bahwa, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, dan Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedua ayat dari Pasal 1 UUD 1945 menegaskan bahwa NKRI merupakan negara berdaulat. Dalam hal mempertahankan kedaulatan hukum NKRI maka telah ditetapkan di dalam UUD bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah(sic.pen) Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah (sic.pen) Mahkamah Konstitusi. Apakah mungkin dengan ratifikasi ICC, kedaulatan hukum NKRI juga akan dilaksanakan oleh sebuah Badan peradilan (internasional ) lainnya ?
Penutup
1. Memahami untuk dapat melaksanakan ketentuan perjanjian internasional tidak semata-mata cukup memahami sisi normatif dari seluruh substansi yang diatur di dalamnya; melainkan juga perlu memahami peta politik internasional secara benar dan dalam kaitannya dengan ketahanan nasional baik dilihat dari aspek hukum,politik, sosial,budaya dan ekonomi.
2. Prinsip kedaulatan negara yang telah dianut dan dilaksanakan seratus tahun lamanya dalam hubungan dan percaturan politik hubungan internasional kini di era globalisasi telah dipinggirkan secara gradual melalui konsep Ancaman Global yang memerlukan dukungan kerjasama global yang dilandaskan kepada asumsi bahwa, tidak ada satupun negara di dunia kini yang dapat menyelesaikan masalah nasionalnya tanpa ada bantuan dan kerjasama internasional baik secara bilateral maupun multilateral.
3. Ketidakberdayaan negara berkembang pada umumnya adalah disebabkan karena keadaan sosial ekonomi dan kesiapan aparatur penegak hukum serta birokrasi yang masih berada pada tingkat madya sehingga belum mampu secara memadai dan tuntas menyelesaikan masalah-masalah nasionalnya termasuk masalah pelanggaran HAM berat. Asas komplementaritas yang merupakan salah satu ikon SICC, bukan satu-satunya jaminan bahwa pengadilan nasional sesungguhnya dapat memberikan jaminan perlindungan dan penegakan HAM secara utuh. Hal ini disebabkan asas komplementaritas yang diwujudkan dalam ketentuan Pasal 17 SICC, masih dipandang sebagai “ancaman terselubung” terhadap kedaulatan suatu negara sebagaimana dikemukakan oleh Louis An Arbour, mantan Jaksa Penuntut Internasional pada ICC :” The regime (asas komplementaritas) would work in favour rich, developed countries and against poor countries. Although the Court’s Prosecutor might easily make the claim that a justice system in an underdeveloped country was ineffective and therefore “unable” to proceed, essentially for reasons of poverty, the difficulties involved in challenging a State with sophisticated and functional justice system would be virtually insurmountable. Certainly there is a danger that the provisions of Article 17 will become a tool for overly harsh assessments of the judicial machinery in developing countries”.
4. Memahami seluruh ketentuan SICC khususnya yang saya nilai strategis dikaitkan dengan sistem hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sudah tentu ratifikasi SICC memerlukan persiapan-persiapan tidak hanya kesiapan Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan RI dengan jajaran di bawahnya serta ABRI melainkan juga kesiapan lembaga penegak hukum terkait dan KOMNAS HAM yang menjadi ujung tombak pengawasan dan penyelidikan pelanggaran HAM berat serta kerja sama antara lembaga-lembaga dimaksud satu sama lain. Hal ini disebabkan seketika ratifikasi SICC oleh Pemerintah Indonesia dilaksanakan, maka seketika itu, kewajiban-kewajiban selain hak-hak selaku negara peratifikasi mulai berjalan tanpa ada celah hukum kekecualian sekecil apapun untuk menolak atau menunda-nunda implementasi ketentuan dalam SICC.
5. Ratifikasi merupakan proses politik, bukan semata-mata proses hukum akan tetapi momentum ratifikasi merupakan awal masuknya pengaruh dan tekanan internasional di mana keberhasilan perlindungan dan penegakan HAM bukan diukur dari kondisi sosial, budaya, hukum dan politik nasional atau sarana dan prasarana yang tersedia melainkan akan diukur dari parameter standar internasional penegakan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam SICC, tanpa kecuali.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar