Jumat, 12 September 2008

Royalti Batu Bara =Korupsi

13-Sep-08
ANALISIS HUKUM KASUS TUNGGAKAN ROYALTI BATU BARA
Romli Atmasasmita

Heboh kasus royalti dari hasil tambang baru bara mencuat karena ada 6(enam) perusahaan berbadan hukum perseroan termasuk joint venture, telah tidak membayar royalti sesuai dengan kontrak dengan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 1996 (Pasal 3 ayat 1);di bawah payung hukum Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan Umum. Total Tunggakan royalti oleh perusahaan tsb berjumlah 7(tujuh) trilyun rupiah dilakukan sejak tahun 2001. Penagihan diserahkan kepada PUPN atas tunggakan terhitung sejak tahun 2001 sd 2005 sesuai dengan hasil audit BPKP. Sedangkan tagihan sejak tahun 2006 sd saat ini masih ditangani Departteman ESDM. Dari jumlah total tunggakan tsb, PUPN menangani sekitar 3.8 trilyun rupiah. Seluruh tunggakan royalti tersebut di atas termasuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP) –UU Nomor 20 tahun 1997 dan Departemen ESDM merupakan instansi wajib pungut PNBP, yang harus melakukan setoran ke kas negara satu hari sejak diterimanya royalti tsb.
Analisis hukum terhadap kasus tunggakan royalti batu bara dapat dilihat dari sisi, pertama, dari sisi hukum perdata, dan kedua, dari sisi hukum pidana.

Analisis hukum perdata, menunjukkan bahwa kasus ini berkaitan dengan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Keenam perusahaan pertambangan batu bara berbentuk badan hukum perseroan sehingga ketentuan mengenai hukum perseroan berlaku terhadap keenam perusahaan tersebut.
Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 menentukan bahwa, kewajiban komisaris, dan direksi, juga pertanggungjawaban hukum suatu perseroan terbatas. Pasal 3 ayat (1) jo ayat (2) ) UU Perseroan Terbatas telah menetapkan 4(empat) keadaan di mana direksi dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, antara lain, jika (b) pemegang saham ybs langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi; (c) jika pemegang saham ybs terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan, atau (d) jika pemegang saham ybs baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan tidak menjadi cukup untuk melunasi utang Perseroan.
Dari sisi hukum perdata khususnya merujuk kepada UU PT tersebut, keenam perusahaan tambang batu bara tersebut telah tidak beritikad baik untuk membayar royalti yang merupakan kewajibannya berdasarkan kontrak yang ditandatanganinya dengan Departemen ESDM. Sedangkan Departemen ESDM telah melalaikan kewajibannya untuk melakukan pungutan sesuai dengan UU Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Analisis hukum pidana, perbuatan keenam perusahaan batu bara menunggak royalti yang merupakan salah satu pemasukan negara, merupakan perbuatan dengan sengaja telah melalaikan kewajibannya untuk membayar royalti batu baru sehingga negara mengalami kerugian senilai Rp 7 triliun. Hal ini didasarkan atas fakta bahwa keenam perusahaan tsb telah diperingati oleh Departemen ESDM atas dasar hasil audit BPKP. Keenam perusahaan batu bara tidak dapat mengelak dari tanggung jawab untuk membayar royalti dengan alasan bahwa pemerintah belum membayar restitusi pajak karena restitusi pajak diatur dalam UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sedangkan pembayaran royalti batu bara termasuk kewajiban hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Bukan Pajak. Kedua kewajiban tersebut baik dari pihak pemerintah (restitusi pajak) maupun dari keenam perusahaan tsb (royalti) tidak dapat dikompensasikan sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 tahun 2007 tentang Perbendaharaan Negara.
Perbuatan keenam perusahaan tambang batu bara tersebut merupakan suatu tindak pidana korupsi vide UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001. Hal ini disebabkan, pertama telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum yaitu dengan sengaja tidak mau membayar selama kurang lebih 7(tujuh) tahun dengan nilai Rp 7 triliun; kedua, telah memperkaya diri sendiri atau korporasi; dengan tidak membayar royalti senilai Rp 7 triliun maka kekayaan keenam perusahaan menjadi bertambah atau telah menambah harta kekayaan direksi dan komisaris baik sendiri-sendiri atau bersama-sama ; dan ketiga, oleh karena itu negara telah mengalami kerugian senilai Rp 7 triliun yang seharusnya telah dapat digunakan oleh negara untuk kepentingan rakyat.
Di dalam menemukan solusi terbaik dilihat dari berbagai aspek, nasional dan internasional, maka pemerintah harus segera menetapkan langkah hukum terbaik yang dapat memenuhi keadilan para pihak(pemerintah dan pengusaha).

Langkah penyelesaian kewajiban atas Kontrak harus paralel dengan langkah hukum pencekalan dan pembekuan aset
Penegasan Menteri Keuangan di berbagai media yang menyatakan pemerintah akan menyelesaikan kasus ini berdasarkan Kontrak yang telah ditandatangani pemerintah dan keenam perusahaan tsb merupakan keputusan yang bijak akan tetapi sudah tentu langkah pemerintah tsb bukan opsi satu-satunya yang dapat menyelamatkan kerugian negara, akan tetapi perlu dilengkapi dengan langkah hukum pidana (UU Korupsi) jika tidak berhasil dalam tenggat waktu tertentu(tidak terlalu lama)sehingga dapat dicegah kerugian negara yang lebih besar lagi atau para pelaku lolos dari jeratan hukum. Langkah pencekalan merupakan suatu langkah pemerintah yang sangat tepat untuk memperkuat langkah Menteri Keuangan tsb di atas. Namun langkah-langkah tsb masih belum cukup, diperlukan langkah pembekuan aset-aset keenam perusahaan tsb untuk mencegah aset yang dilarikan ke negara lain yang yang nota bene di dalamnya termasuk aset negara (royalti). Langkah pembekuan aset tsb didasarkan atas UU Nomor 31 tahun 1999 diubah UU Nomor 20 tahun 2001 atau UU Nomor 15 tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Perlu langkah paralel dilakukan KPK dan Kepolisian
Untuk memperkuat langkah hukum yang telah dilaksanakan pemerintah di atas, perlu dilaksanakan langkah paralel oleh KPK dan atau Kepolisian berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang yang terjadi sebagai akibat penunggakan pembayaran royalti. Perlu diketahu bahwa perbuatan menunggak dari tahun 2001 sd tahun 2008, tempus delicti sejak 7(tahun) terhitung keenam perusahaan menunggak royalti, tidak lagi dapat digolongkan sebagai perbuatan ”melalaikan kewajibannya” melainkan termasuk ”perbuatan dengan sengaja tidak mau melaksanakan kewajibannya, yaitu membayar royalti, sesuai dengan kontrak tambang batu bara yang diatur berdasarkan PP Nomor 75 tahun 1996.
KPK dan Kepolisian dengan bantuan PPATK sejak dini seharusnya telah melaksanakan tindakan pencegahan agar harta kekayaan negara (royalti senilai Rp 7 triliun) dapat diselamatkan dengan merujuk kepada peraturan perundang-undangan terkait. Langkah pencegahan tersebut segera perlu dilaksanakan agar pengalaman buruk penyelesaian kasus BLBI Jilid I dan II melalui INPRES nomor 8 tahun 2002, dalam penyelesaian kasus tunggakan royalti ini, tidak terulang kembali.
Langkah Tim Optimalisasi Penerimaan Negara yang dikoordinir oleh Kepala BPKP dalam kasus ini dengan melalui pembayaran uang jaminan senilai Rp 6 milyar, dan sampai saat ini belum disetor ke kas negara, patut disesalkan karena Lembaga BPKP selaku auditor pemerintah, tidak dalam kapasitas menyelesaikan suatu kasus kecuali melaksanakan audit semata-mata. Jika ditemui penyimpangan yang diduga kuat telah merupakan suatu tindak pidana, menjadi kewajiban BPKP melaporkan kepada pihak berwajib. Langkah BPKP tsb justru merupakan langkah penyelamatan aset negara sebaliknya merupakan langkah yang tidak tepat dan berisiko tinggi di mana royalti yang merupakan aset negara akan hilang tidak dapat diselamatkan. Apalagi nilai jaminan tsb (Rp 6 milyar) sangat tidak sebanding dengan nilai Rp 7 triliun yang seharusnya menjadi milik negara; belum dihitung dengan denda penalti atau bunganya.! Berdasarkan pertimbangan inilah, KPK harus mengambil langkah supervisi terhadap kasus tunggakan royalti batu bara dan berkoordinasi dengan BPKP atau BPK akan tetapi KPK tidak boleh memberikan toleransi terhadap keenam perusahaan batu bara tersebut yang telah secara nyata-nyata dan dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban-nya terhadap negara!

Tidak ada komentar: