Jumat, 12 September 2008

Satu Dasa Warsa Pemberantasan Korupsi

9 August 2008 2008

PEMBERANTASAN KORUPSI BAGIAN DARI MENCIPTAKAN KEADILAN SOSIAL BANGSA INDONESIA
ROMLI ATMASASMITA
Korupsi di berbagai Negara kini telah diakui sebagai kejahatan internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)-pun telah mengakui secara resmi bahwa korupsi merupakan musuh umat manusia dan tantangan besar untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa. Kemiskinan di sebagian Negara berkembang terbukti disebabkan karena buruknya pemerintahan karena suap(bribery), penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Berbagai kasus korupsi yang telah dilakukan oleh pemimpin Negara berkembang seperti, kasus Sani Abacha (Nigeria), Ferdinand Marcos(Filipina), Fujimori (Peru), Suharto (Indonesia); menunjukkan bahwa korupsi telah mengakibatkan instabilitas pemerintahan dan kemiskinan yang bersifat massal.
Selain korupsi di negara berkembang tertentu di Asia dan Afrika, korupsi juga telah berkembang terutama korupsi di bidang politik di negara-negara maju seperti di negara anggota Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Negara yang termasuk “Quiet Corrupt Countries” termasuk: Sepanyol, Yunani, Italia; termasuk “Somewhat Corrupt Countries”, termasuk, Jerman, Amerika Serikat, Perancis, Belgia, Jepang dan Portugis; “Least Corrupt Countries, termasuk, Swedia, Belanda, Irlandia, dan Inggeris.
Sejalan dengan perkembangan korupsi di belahan dunia tersebut PBB telah mengadopsi dua konvensi yang secara khusus ditujukan untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi; Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime,2000), dan Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption., 2003).
Perkembangan implementasi konvensi-konvensi tersebut di berbagai Negara berbeda-beda. Pemerintah Indonesia, telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi(2003) dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006, dan telah menandatangani Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi.
Pemerintah Indonesia telah memasukkan agenda pemberantasan korupsi dengan Instruksi Presiden RI Nomor 5 tahun 2004 yaitu “Percepatan Pemberantasan Korupsi” dan juga telah memberikan instruksi kepada seluruh Menteri dan Petinggi Hukum untuk melakukan koordinasi di dalam pelaksanaannya. Selain itu pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK)tahun 2004-2009. Namun demikian RAN PK tidak memasukkan 4(empat) area rentan korupsi terpenting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, yaitu: sektor peradilan; pengawasan keuangan; partai politik dan DPR, dan pengawasan barang dan jasa di dalam Bisnis Militer.
Selain agenda pemberantasan korupsi tersebut di atas, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan 4(empat) kali perubahan terhadap undang-undang pemberantasan korupsi, yaitu perubahan pertama, UU Nomor 24 tahun 1960; kedua, UU Nomor 3 tahun 1971; ketiga, UU Nomor 31 tahun 1999, dan keempat UU Nomor 20 tahun 2001. Kempat perubahan tsb diperkuat dengan diundangkannya UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Nomor 15 tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003).
Untuk memperkecil kelemahan celah hukum dalam pemberantasan korupsi, telah dimasukkan ketentuan mengenai pembuktian terbalik-terbatas dalam UU nomor 31 tahun 1999, dan pembuktian terbalik dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang;serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002.
Perkembangan progresif dan boleh dikatakan agresif di dalam bidang peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diuraikan tidak diikuti dengan implementasi yang konsisten dan berkesinambungan. Kesenjangan antara ”yang seharusnya” (das sollen), dan ”yang senyatanya (das sein) tersebut telah mengakibatkan tujuan penjeraan dan pengembalian kerugian keuangan negara belum berhasil secara signifikan.
Penyelesaian berbagai kasus korupsi dikalangan lembaga penegak hukum sejak era reformasi, masih bersifat fragmentaris, dan berkembang secara sporadis dikawal dengan pengawasan kalangan LSM yang bergerak dalam pemberantasan korupsi. Respons dari kalangan eksekutif, legislative dan yudikatif masih beragam dan belum satu kata dengan perbuatan. Masih tampak standar ganda di antara mereka sehingga baik secara sosial dan politik, Instruksi Presiden (INPRES) percepatan pemberantasan korupsi telah dicanangkan sejak tahun 2004, belum dapat mencegah kenaikan angka korupsi yang melibatkan penyelenggara negara di Indonesia.
Perasaan jera untuk tidak melakukan korupsi di kalangan mereka belum merata dan bahkan masih banyak penyelenggara Negara yang berpendapat bahwa, tertangkapnya beberapa pejabat negara tsb hanyalah karena kebetulan atau nasib sial semata-mata dan kecerdikan penegak hukum saja. Perasaan malu sekalipun tidak kentara pada pelaku korupsi telah terhapuskan dengan ”penyambutan” yang berlebihan dari insan pers dan media cetak elektronik sehingga layaknya selebriti saja. Korupsi berjamaah telah menjadi kenyataan sehingga rasa malu itupun telah teratasi dengan ”spirit kolektivisme” dalam membela ”kaumnya”.
Kinerja lembaga penegak hukum saat ini dalam pemberantasan korupsi belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi tegaknya hukum dan keuangan negara. Contoh, masih ada tunggakan pembayaran uang pengganti dari Kejaksaan Agung, sebesar Rp 5.925.829.194.947,- dan $ 207.595.132 dan baru disetor ke kas negara sebesar Rp 2.842.941.733.409,2.
Beberapa kasus mega-korupsi dengan nilai trilyunan rupiah belum dapat diselamatkan dan secara tuntas ditangani Kejaksaan Agung, seperti kasus BLBI, dengan nilai 134.5 triliun rupiah, ditambah dengan bunga, telah mencapai seribu trilyun rupiah; dan kasus korupsi di bidang minyak dan gas bumi sejak kasus Balongan (1988) sampai dengan terakhir kasus tunggakan Royalti Batu Bara dari 6(enam) Perusahaan swasta sebesar 16.48 triliun rupiah.
Berdasarkan perhitungan potensi nilai uang negara yang telah diselamatkan berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, KPK telah memasukkan ke kas negara senilai Rp 45.513.032,038,00- per Desember 2007 dari total potensi kerugian negara yang harus diselamatkan senilai Rp 119.976.472.962,00-
Mahkamah Agung RI sampai saat ini masih menahan biaya perkara yang telah disetor pihak ketiga dengan berbagai alasan yang kurang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Beranjak dari data perkara tersebut di atas, wajar jika survei Litbang Kompas mengenai Citra Lembaga Penegak Hukum selama 5(lima) tahun terakhir, menunjukkan bahwa, citra Kejaksaan Agung dan MA RI masih jauh berada di bawah KPK. Terhitung sejak September 2003 sampai dengan Juni 2008, menunjukkan keadaan sebagai berikut: Kepolisian (tahun 2003, 31.8; 2008,26.1), Kejaksaan Agung(tahun 2003, 22.4; tahun 2008:18.1), Mahkamah Agung (tahun 2003, 25.7; tahun 2008, 22.0), KPK(tahun 2005, 58.3; tahun 2008, 63.5).
Kenaikan citra KPK juga tampak dari kenaikan kepatuhan penyelenggara negara untuk menyampaikan LHKPN, dari sejumlah 86.468 telah menyampaikan laporan sebanyak 76.455 (88.42%) dengan rincian: eksekutif (85,25%); Legislatif (95,59%), dan judikatif(90,05%). Citra positif terhadap KPK juga tampak dari penerimaan laporan gratifikasi yang mengalami peningkatan, pada akhir 2007(96%) dari 20% pada tahun 2004.
Merujuk kepada data KPK tsb, data mengenai kenaikan pesat dalam kepatuhan penyampaian laporan LHKPN dan laporan gratifikasi oleh penyelenggara negara berbanding terbalik dengan peningkatan jumlah kasus korupsi yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun ini, dan ,masih tingginya citra negatif terhadap lembaga penegak hukum dalam pandangan publik dan pencari keadilan.
Citra peradilan berdasarkan hasil penelitian UNODC dan MA RI tahun 2004, ternyata sangat memprihatinkan.Dari responden 1467 (di wilayah Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan) dan 1018 responden (di wilayah Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara), diperoleh gambaran,masih adanya pungutan liar pada tahap, dimulainya peradilan (7.4%); proses peradilan (11.1%);penerbitan putusan (7.4%); perolehan salinan putusan (33.3%);eksekusi putusan (29.6%). Suap untuk pengurangan hukuman (Sumsel, 5.5%; Sulteng, 63.2%); rekayasa putusan(Sumsel, 4.6%;Sulsel, 12.6%); untuk mempengaruhi putusan(Sumsel, 4.6%, Sulteng, 6.3%).
Di bidang kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan di dalam UU Nomor 4 tahun 2004,tentang Kekuasaan Kehakiman, masih terdapat kinerja hakim yang belum mencerminkan integeritas dan akuntabilitas yang baik . Pembenahan mekanisme kerja di lingkungan MA RI belum dilaksanakan secara tuntas sekalipun berbagai usulan telah disampaikan kepada Pimpinan MA RI. Usulan sistem (pemisahan) kamar pada tingkat pemeriksaan kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah Agung RI, tidak disetujui sampai saat ini sehingga sering terjadi kasus korupsi ditangani oleh hakim yang memiliki keahlian di bidang administrasi negara atau hakim agama sehingga menghasilkan putusan yang tidak memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan.

Implementasi sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang diandalkan di dalam UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, setelah berusia 17 tahun lamanya, juga terbukti tidak berhasil dengan efektif mencegah dan menindak tindak pidana serius termasuk korupsi karena sering terjadi bolak balik hasil pemeriksaan P19 dari penyidik kepolisian kepada penuntut umum kejaksaan di dalam proses penyidikan dan penuntutan. Ketentuan SP 3 baik dalam penyidikan (Pasal 109 ayat 2 KUHAP)maupun dalam penuntutan(Pasal 140 ayat 2 KUHAP) dalam praktik sering dijadikan ”komoditi berjangka” sehingga sangat cenderung merupakan pelanggaran hak asasi para pencari keadilan.
Pembentukan TimTasTipikor untuk menghentikan bolak balik perkara tipikor tidak dilanjutkan oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji, tanpa ada upaya untuk memperpanjangnya sekalipun telah berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 4.105.563.737,-. Di sisi lain, data mengenai kinerja Kejaksaan Agung di dalam bidang penyidikan dan penuntutan masih belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, bahkan cenderung menurun sesuai dengan survey citra masyarakat sebagaimana diuraikan terdahulu(Survey Litbang Kompas,2003-2008). Selama kurun waktu 9(sembilan)tahun-1998 – 2007, pada akhir tahun 2007, data statistik perkara korupsi, pada tingkat penuntutan masih tersisa 50(limapuluh) kasus dan telah diselesaikan 662 kasus dari 712 kasus yang masuk dan dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. Sedangkan data statistik penyidikan, lebih buruk dari penuntutan, yaitu dalam kurun waktu yang sama, terdapat sisa penyidikan sebesar 1255 perkara, dari 1686 perkara. Seharusnya, Kejaksaan Agung sebagai lembaga Penuntut Umum satu-satunya tidak dibebani masalah kasus korupsi dalam penyidikan yang masih tertunda-tunda.
Seluruh uraian negatif yang terjadi dalam praktik peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, telah diperburuk dengan maraknya para makelar kasus (MARKUS) baik skala kecil, menengah maupun skala besar. Contoh kasus suap oleh ART terhadap UTG seorang jaksa ketua tim II untuk mengkaji kasus BDNI/SYN; juga memiliki jaringan luas ke lapisan eselon puncak di dalam lembaga penegak hukum dan birokrasi.
Perilaku koruptif dan tindak pidana korupsi semakin merajalela dan meningkat serta meluas di dalam birokrasi di Indonesia termasuk aparatur penegak hukum. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa korupsi telah menjadi virus, berkembang biak secara sistemik dan meluas sehingga tepat dikatakan korupsi di Indonesia telah merupakan “kejahatan luar biasa (sangat luar biasa) atau “extra ordinary crimes”. Jika masih ada pendapat yang mengatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan biasa sama dengan perampokan (ordinary crimes) jelas bahwa mereka termasuk golongan orang-orang yang tidak memiliki kepedulian sosial nasional dan kehilangan “sense of crisis” terhadap masa depan bangsa Indonesia. Bahkan cara pandang mereka terhadap korupsi bertentangan secara diametral dengan cita kesejahteraan sosial dan keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945 dan Perubahannya.
Laporan survey USINDO-CSIS tahun 2004-2006 menggambarkan keadaan kinerja pemberantasan korupsi yang masih mengalami hambatan serius dari realita politik yang berkembang dan birokrasi sehingga langkah Presiden SBY dengan Inpres Nomor 5 tahun 2004 tidak memberikan hasil optimal dan signifikan terhadap pembaruan birokrasi melainkan hanya “menurunkan sementara” praktik kronisme dalam proses pengangkatan jabatan strategis pemerintahan, dan keberpihakan politis dalam pengambilan keputusan di bidang regulasi dan dunia perdagangan. Di sisi lain, presiden SBY sendiri kurang proaktif untuk menerapkan strategi reformasi birokrasi untuk mengurangi insentif dan kesempatan untuk melakukan korupsi.
Kiranya sudah tiba waktunya untuk melakukan konsolidasi internal terhadap kinerja lembaga penegak hukum termasuk KPK dan segera menetapkan semangat,tekad dan komitmen untuk melaksanakan pemberantasan korupsi secara komprehensif dan secara total merevisi berbagai peraturan disiplin PNS (PP 30) yang telah usang dan menyesuaikan dengan gerak langkah pembaruan dalam kinerja pemberantasan korupsi.
Pidato Kenegaraan Presiden SBY dalam Sidang Paripurna DPR RI menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2008, seharusnya dijadikan momentun bagi seluruh petinggi hukum untuk melaksanakan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, begitulah ucapan yang disampaikan Presiden. Apalagi dalam Pidato Kenegaraan tsb disampaikan Presiden mendukung penuh langkah-langkah hukum yang telah dilaksanakan KPK.
Agenda pemberantasan korupsi memasuki tahun keenam sejak gerakan reformasi digulirkan dan di masa yad, harus dapat mengikis habis sikap dan perilaku yang masih resisten terhadap gerakan pemberantasan korupsi melalui berbagai cara. Langah pertama, menetapkan sanksi pemecatan terhadap PNS yang berperilaku koruptif, termasuk aparatur penegak hukum, dan memberikan “reward” secara terbuka kepada mereka yang berjasa menuntaskan dan membantu gerakan pemberantasan korupsi. Langkah kedua, menumbuhkan budaya malu dan jera di kalangan birokrasi yang terlibat dalam kasus korupsi antara lain dengan pemborgolan dan memakai baju seragam tahanan yang sesuai dengan nilai kesusilaan masyarakat Indonesia. Langkah ketiga, dihapuskannya perlakuan diskriminatif yang mengistimewakan pelaku korupsi yang memiliki status sosial ekonomi tinggi dari mereka yang tidak berpunya sejak penahanan sampai kepada pelaksanaan putusan hakim di dalam lembaga pemasyarakatan. Semua keistimewaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang telah melakukan kejahatan serius termasuk korupsi sebaiknya dikurangi sampai pada titik terrendah sehingga dapat menciptakan “rasa senasib sepenanggungan dengan nara pidana lain”. Langkah keempat, mencegah insentif dari korupsi dan kesempatan untuk melakukan korupsi dengan cara penegakan hukum dan pelaksanaan hukuman secara konsisten tanpa diskriminatif serta penjatuhan hukuman seberat-beratnya terhadap mereka yang “memudahkan dan memberikan kelonggaran” terhadap pelaksanaan penegakan hukum dan pelaksanaan pidana tsb.Langkah kelima, merevisi PP 30 mengenai Disiplin Pengawai Negeri Sipil sehingga tertutup peluang ”impunity” terhadap perilaku koruptif di kalangan penyelenggara negara. Selayaknya dalam Peraturan tersebut diterapkan sanksi pemberhentian sementara dari jabatannya terhadap penyelenggara negara khususnya pengemban jabatan strategis yang terkait dengan tindak pidana korupsi; dan tidak perlu lagi mengusung prinsip ”praduga tak bersalah” yang sering dijadikan kemasan untuk ”menghentikan atau menekan” gerakan anti korupsi.
Lembaga penegak hukum termasuk KPK harus meyakini bahwa semangat, tekad, kinerja dan sikap yang sejalan dan seiring dalam pemberantasan korupsi akan dapat berhasil menyelamatkan kekayaan negara secara signfikan dan dapat menambah secara substantial terhadap APBN/APBND. Diyakini bahwa jika hal tsb dilakukan bangsa ini tidak perlu lagi meminta bantuan pinjaman dari negara donor dan bahkan dapat mengatasi masalah nasional dengan sumber daya dan dana nasional. Bahkan jika hal tsb dilakukan secara konsisten selama 5(lima) tahun yad, maka negara dan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat secara sosial, ekonomi, hukum dan poliitik dan menjadi bangsa yang disegani baik dalam forum nasional maupun dalam hubungan internasional.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia dalam 10(sepuluh) tahun kedepan oleh karena itu KPK haruslah menjadi panutan baik secara kelembagaan maupun secara individual bagi lembaga pemerintah lainnya di dalam membangun Indonesia yang merdeka dan bebas dari penjajahan di bidang sosial dan ekonomi.
Akhirnya, patut direnungkan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya monopoli KPK melainkan juga menjadi tugas dan tanggung jawab bersama Kejaksaan Agung dan Kepolisian serta Mahkamah Agung RI. Tanpa kerjasama positif diantara keempat lembaga penegak hukum tsb dan partisipasi masyarakat secara luas disertai proteksi terhadap pelapor dan saksi yang kooperatif jangan diharapkan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum dapat memberikan hasil optimal dan jaminan masa depan bangsa Indonesia dalam meraih cita keadilan sosial.

Tidak ada komentar: