Jumat, 12 September 2008

Skenario di balik BLBI

SKENARIO DI BALIK KASUS BLBI
Romli Atmasasmita

Dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia setelah terjadi amandemen ke empat kalinya terhadap UU Pemberantasan Korupsi, banyak fakta bahwa kasus BLBI merupakan kasus mega-skandal yang sangat luar biasa selama orde reformasi. Pertama mulai dari pengucuran- dan penggunaan dana blbi telah mengakibatkan pejabat BI yang didakwa dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi; pemilik Bank telah dijatuhi pidana oleh MA karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, Pasca temuan BPK bulan Agustus tahun 2000 yang menyatakan bahwa terjadi penyimpangan dana BLBI sebesar kurang lebih Rp 134 triliun, pemerintah dengan INPRES nomor 8 tahun 2002 telah menyelesaikan dengan pola MSAA,MRNIA,APU, dan SKL. Pola tsb bukan merupakan bentuk perjanjian keperdataan melainkan merupakan perintah kepada obligor untuk menyelesaikan kewajibannya (injunction) bukan “kontrak” karena secara substansiil, pola tsb memerintahkan obligor bermasalah untuk melaksanakan tuntas kewajibannya kepada negara, dan jika tidak dilaksanakan, negara telah mengalami kerugian dengan jumlah yang signifikan.
Ketiga, bukti dokumen BLBI (asli) menurut pihak Kejaksaan Agung telah hilang karena berbagai sebab antara lain terjadi kebakaran di Depkeu dan di gedung BI tempat penyimpanan dokumen tsb; namun fakta lain membuktikan bahwa, MA telah pernah menjatuhkan putusan atas kasus BLBI dan menetapkannya sebagai tindak pidana korupsi, dan pernyataan Kejagung bahwa kasus ini merupakan kasus perdata, sudah tentu bersumber kepada dokumen BLBI yang ada (fotocopy).
Keempat, pernyataan kejagung yang kontradiktif dan inkonsisten tentang kasus ini. Di satu sisi kasus BLBI didakwa dan terbukti sebagai tindak pidana korupsi (kasus Samadikun hartono; kasus Hendra Rahardja, dan kasus Bank Servitia); tetapi di sisi lain untuk kasus BDNI(Sy N) diberikan SP3 dengan alasan tidak terdapat bukti yang cukup,begitupula terhadap kasus BCA (AS).
Kelima, sekalipun kasus SYN telah diberikan SP3 oleh kejaksaan agung pada tahun 2004, akan tetapi Kejaksaan Agung di bawah Hendarman Supandji telah melakukan penyelidikan kembali kasus tsb, dan diakhiri dengan pernyataan kasus BDNI (SYN) tidak ditemukan unsur pidana sehingga tidak dilanjutkan penyelidikannya.
Keenam, kasus suap UTG, ketua tim II BLBI untuk kasus BDNI(SYN) oleh ART, “key personnel” dalam grup usaha SYN pemilik BDNI, di persidangan pengadilan tipikor dan kesaksian terdakwa ART, Hendro Dewanto, dan saksi jaksa lain; rekaman pembicaraan KYR dan UTS dengan ART; skenario penangkapan ART; telah terungkap fakta persidangan bahwa, kasus suap UTG dan ART berhubungan erat dengan tidak dilanjutkan penyelidikan kasus BDNI(SYN) dan kasus suap UTG dan ART. Sejalan dengan teori pembuktian, “circumstantial evidence” (preponderance evidence) menyatakan bahwa, setiap fakta yang terungkap di muka persidangan yang berhubungan erat satu sama lain, dan menunjuk kepada suatu peristiwa pidana dan mengarah kepada satu atau beberapa orang sebagai pelakunya, merupakan bukti kuat untuk menetapkan telah terjadi tindak pidana dan mereka adalah pelakunya. Hanya Hakim majelis pengadilan tipikor dengan keyakinan-nya, berwenang memberikan penilaian tsb karena diungkapkan di muka persidangan. Teori ini berbeda dengan teori pembuktian “beyond reasonable doubt” dengan minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim. Dalam kasus mega-skandal yang melibatkan pejabat negara apalagi pemangku jabatan strategis pada bidang eksekutif, judikatif dan legislatif, teori pertama telah diterapkan di negara maju dan terbukti ampuh untuk mengungkap tuntas perkara besar.
Ketujuh, organisasi profesi Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) dengan 35(tigapuluh lima) ahli hukum pidana dari seluruh Indonesia, telah melakukan kajian hukum atas kasus BLBI dan berkesimpulan bahwa, kasus BLBI sarat dengan unsur tindak pidana korupsi, dan KPK dapat mengambil alih kasus BLBI dari Kejaksaan Agung.
Kedelapan, aspek transnasional berkaitan dengan kasus BLBI, terdapat fakta bahwa, antara Indonesia dengan Singapura dan beberapa negara Asean telah ditandatangani perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters) dan telah diratifikasi dengan UU Nomor 15 tahun 2008, termasuk prosedur permintaan penyitaan aset kejahatan(korupsi);tetapi perjanjian tsb menganut asas non-retraktif sejak tahun 2004.
Kesembilan, intervensi politik dan kekuasaan dalam kasus BLBI khususnya BDNI sangat kuat terbukti dengan muncul pro dan kontra wewenang KPK untuk ambil alih kasus tsb dengan memunculkan pemberlakuan asas non-retroaktif oleh politisi dan pemangku jabatan eksekutif dan para penasehat hukum serta pakar hukum pidana tertentu. Sedangkan kajian MAHUPIKI telah secara teliti dan menyatakan tegas tidak ada masalah non-retroaktif dalam hukum acara (wewenang) jika merujuk kepada Pasal 284 ayat (1) KUHAP, dan preseden pemberlakuan wewenang MK RI dalam memeriksa Hak Uji Materiel atas kasus yang terjadi sebelum terbentuknya Mahkamah tsb, dan merujuk juga kepada Pasal 68 juncto pasal 9 huruf d UU KPK.
Kesepuluh, KPK masih ragu-ragu untuk mengambil alih kasus BLBI dengan berbagai alasan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma hukum positif yang berlaku serta fakta yang muncul di persidangan perkara suap UTG dan ART.
Kesebelas, sehubungan dengan butir kesepuluh di atas, pernyataan kejaksaan agung bahwa bukti dokumen asli telah hilang, sehingga sulit pembuktian kasus BLBI adalah mengada-ada dan tidak sesuai dengan bunyi ketentuan dalam UU Nomor 20 tahun 2001 yang telah mengubah UU nomor 31 tahun 1999 tentang bukti petunjuk (Pasal 26 A) , termasuk dokumen , yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dibaca,dilihat, dan atau di dengar ....; tidak ada satu kalimatpun dalam ketentuan tsb mengharuskan dokumen tsb asli (bukan fotocopy). Begitupula jika untuk kasus BLBI, digunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang , definisi tentang dokumen dan alat bukti elektronik telah ditetapkan merupakan alat bukti ke-enam disamping yang telah di atur dalam KUHAP (hanya lima).
Bertitik tolak dari uraian di atas jelas bahwa telah terjadi skenario penyelesaian kasus BLBI menyimpang dari tujuan untuk menyelamatkan perekonomian negara dan keuangan negara yang telah dilaksanakan secara berencana, sistematis, dan melibatkan banyak pejabat eksekutif,legislatif, dan judikatif. Kondisi penegakan hukum tersebut dapat digolongkan ke dalam “governmental crime”.

Tidak ada komentar: